Lebih dari 100 orang tenaga kerja di Bantul kehilangan pekerjaanya akibat perusahaan tempatnya bekerja menyatakan diri telah kolaps. Dari data yang diperoleh Harian Jogja, setidaknya ada 100 orang tenaga kerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan beberapa di antaranya dirumahkan.
Kepala Seksi Hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Bantul Annursina Karti menjelaskan, hingga kini memang sudah ada 2 perusahaan menengah yang menyatakan diri telah kolaps. Kedua perusahaan itu tak lagi sanggup menjalankan roda produksinya sejak akhir Juli lalu.
“Ketika itu kurs rupiah melemah di angka Rp13.000,” katanya saat ditemui wartawan di kantor Disnakertrans Bantul, Selasa (1/9/2015).
Kedua perusahaan itu, kebetulan memang bergerak di sektor ekspor mebel dan furniture. Dengan melambungnya nilai mata uang Dollar, maka praktis harga bahan baku produksi yang kebanyakan mereka impor pun turut terimbas.
Belum lagi ditambah dengan lesunya perekonomian dunia yang menyebabkan melemahnya daya beli masyarakat internasional, menyebabkan permintaan atas produk mereka pun menurun drastis. Akibatnya, kedua perusahaan yang berlokasi di kawasan Sewon itu pun terpaksa gulung tikar.
Annursina menambahkan, dari kedua perusahaan itu, baru satu perusahaan saja yang telah melaporkan secara resmi perihal hubungan mereka dengan tenaga kerjanya.
Tercatat, sebanyak 40 orang tenaga kerja mereka dilaporkan secara resmi telah mereka berhentikan. Sedangkan satu perusahaan lainnya, pihak Disnakertrans hanya menerima laporan secara lisan saja. “Jumlah karyawan total dari satu perusahaan itu adalah 100 orang, yang 60 sudah di-PHK, sisanya dirumahkan,” imbuhnya.
Dengan kondisi perekonomian yang masih labil ini, ia tak menampik masih tingginya potensi PHK di Bantul. Hal iti diakuinya dengan masih banyaknya perusahaan di Bantul yang berkonsultasi dengan pihak Disnakertrans Bantul terkait kondisi keuangan mereka. “Dari total seluruh perusahaan yang ada di Bantul, sekitar 5%, keuangannya tidak sehat. Mereka terus berkonsultasi dengan kami,” ucapnya.
Sesuai perundangan yang berlaku, ia menyarankan agar PHK dijadikan opsi yang paling akhir. Sebagai alternatifnya, ia menghimbau kepada perusahaan tak sehat itu untuk mengurangi jam kerja produksinya.
Dengan begitu, selain bisa menekan biaya produksi, hal itu juga tidak merugikan tenaga kerja. Barulah jika memang opsi itu tak bisa, pihak perusahaan bisa menempuh opsi lain, yakni merumahkan beberapa tenaga kerjanya.
Comments