Star Jogja- Yogyakarta. Pungutan liar di lingkungan instansi pemerintah terus gencar ditelusuri pemerintah. Sayangnya, sebagian besar masyarakat masih belum secara aktif melaporkan tindakan pungli yang dialami.
“Laporan tentang pungli memang terus ada, terutama di ranah pendidikan. Pungli di lingkungan sekolah masih menjadi pengaduan terbanyak,” ujar Kepala Ombudsman RI Perwakilan DIY, Budi Masturi, Kamis (20/10/2016).
Budi tidak menampik jika potensi praktik pungutan liar di lingkungan instansi pemerintah sangatlah besar. Beberapa laporan yang pernah diterima ORI terkait pungli seperti persoalan pengurusan akta kelahiran.
“Soal sertifikasi guru, tahun 2013 kami juga mendapatkan banyak aduan terkait hal ini. Namun, kami kesulitan untuk menghadapinya, karena guru yang bersangkutan enggan membuat laporan pengaduan secara resmi,” ungkap Budi.
Berdasarkan data yang disampaikan Budi, pada 2015 jumlah aduan yang masuk sekitar 244 laporan dan tahun 2016 data sementara yang masuk sudah ada 220 laporan. Dari sisi substansinya aduan yang terbanyak yakni terkait penyimpangan prosedur dan penundaan berlarut. Keduanya memiliki persentase yang cukup besar yakni sekitar 40% dari jumlah adauan yang dilaporkan.
Lebih lanjut Budi menjelaskan, dari kedua substansi tersebut dapat dipastikan terdapat potensi pungli di dalamnya. Misalnya dalam kasus pengajuan perizinan toko, tidak menutup kemungkinan apabila proses yang diinginkan cepat, maka memerlukan biaya ekstra untuk memperlancar prosesnya.
“Maka dari itu, kami mengimbau kepada masyarakat sebelum meminta hak, lengkapi dulu persyaratan yang ada. Jika tidak demikian, di situlah nanti praktik pungli bisa terjadi,” jelas Budi.
Kepala Bidang Pelayanan dan Investigasi Lembaga Ombudsman DIY, Hanum Aryani menambahkan sampai saat ini aduan terkait pungutan liar di instansi pemerintahan belum pernah diterima lembaga ini. Hanya saja dalam setiap sosialisasi yang digelar LOD, banyak masyarakat yang berkonsultasi dan merasa resah dengan adanya proses perizinan yang masih dilakukan di banyak meja.
“Padahal regulasinya menegaskan layanan satu pintu, kenyataannya di lapangan tidak demikian. Kami juga pernah melakukan kajian tentang toko modern berjejaring dan mengkomparasikan dengan retail lokal [toko kelontong] ,” jelas Hanum. Holy Kartika NS/JIBI/Harian Jogja |
Comments