STARJOGJA.COM, JOGJA – Perkembangan sejarah sastra Yogyakarta bergulir seiring perkembangan Yogyakarta sendiri. Jika kembali ke masa awal kemerdekaan, tatkala Yogyakarta menjadi Ibukota Republik Indonesia, banyak seniman, mulai dari pelukis, teaterawan, sastrawan dari berbagai daerah yang datang dan bertandang ke Yogyakarta. Ada yang kemudian menetap, ada yang seiring berpindahnya Ibukota ke Jakarta juga turut serta hijrah.
Menariknya, Yogyakarta sebagai daerah yang lekat dengan budaya dan tradisi Jawa bisa menjadi ladang bagi tumbuh kembang kesenian tradisi dan kesenian modern secara berdampingan. Keberadaan sekolah, kampus, dan sanggar seni membuat kehidupan kesenian di Yogyakarta tumbuh subur.
Situasi politik dan dinamika yang terjadi di masyarakat secara sosial serta budaya sekitar transisi Orde Lama ke Orde Baru menumbuhkan daya kreativitas berupa puisi. Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi W.M., Darmanto Jatman, Kirdjomuljo merupakan sedikit dari banyak penyair Yogyakarta pada masa itu.
Pada tahun 1970-an, bahkan ada komunitas sastra Persada Studi Klub di Malioboro yang hingga saat ini tidak bisa ditinggalkan peranannya tatkala membicarakan dunia kepenyairan di Yogyakarta. Persada Studi Klub asuhan Umbu Landu Paranggi ini melahirkan para penyair andal seperti Iman Budhi Santosa, Ragil Suwarna Pragilapati, Linus Suryadi Ag, Emha Ainun Nadjib, Mustofa W. Hasyim dan banyak lagi yang lainnya.
Nama-nama yang bermunculan itu pun tidak hanya harum di Yogyakarta, bahkan di arena sastra Nasional. Keberadaan Malioboro dengan bangunan-bangunan tau peninggalan Belanda, Stasiun Tugu, Pasar Kembang, Senisono, lorong-lorong kampung, para mahasiswa, pedagang kaki lima, glandangan, pencopet, tukang becak menjadi bahan baku bagi kelahiran puisi. Belum lagi suasana alam Yogyakarta yang romantis dan melankolis mulai dari Kaliurang hingga Parangtritis.
Memasuki tahun 1980-an agaknya gaya urakan para sastrawan yang berkumpul di Senisono, atau si sanggar-sanggar pada sebuah kampus, ngobrol sampai dini hari selepas menyaksikan pertunjukan teater menjadi tradisi kreatif. Hingga pada masa tahun 1990-an yang menghadirkan situasi puitis itu menjadi tragis. Kasus Senisono mengawali dinamika kota Yogyakarta yang berangsur lekas berubah dengan cepat.
Pasca Orde Baru tumbang, lebih-lebih ketika memasuki era milenium tahun 2000 pembangunan dan perkembangan kota semakin cepat tanpa hambatan. Yogyakarta segera menjadi metropolitan. Kendaraan berjejalan di jalan-jalan, hotel dan pusat perbelanjaan menjamur di berbagai lokasi, mahasiswa semakin banyak berdatangan dan setelahnya tinggal menetap berdampingan dengan penduduk Yogyakarta.
Malioboro terus berhias menjadi pusat perhatian. Malioboro tumbuh tanpa adanya penyair. Hal ini berpengaruh pada kedalaman dan kedangkalan karya sastra yang kemudian lahir dari para sastrawan generasi milenial saat ini. Perubahan dunia di era golbalisasi dengan kecanggihan zaman yang menuntut segalanya serba instan ini disadari ataupun tidak sesungguhnya cukup mengkhawatirkan adanya.( Latief S. Nugraha )
ILUSTRASI GAMBAR : Seni Sono
Comments