STARJOGJA.COM, LIFESTYLE —Sepanjang 2017, dunia perdagangan elektronik (e-commerce) di Indonesia mengalami rentetan dinamika yang mernarik. Misalnya saja, masuknya investasi Alibaba melalui Lazada dan Tokopedia.
Momentum bombastis lainnya misalnya meroketnya pertumbuhan pemain baru Shopee dalam memenangkan pasar mobile, serta jumlah transaksi Hari Belanja Online (Harbolnas) 2017 yang menembus Rp4 triliun hanya dalam tiga hari.
Berbagai peristiwa tersebut menunjukkan semua pemain perdagangan elektronik di Tanah Air berlomba-lomba mengambil kue pasar di dalam negeri.Tidak heran bila pasar Indonesia begitu menggiurkan, karena negara ini memang memiliki potensi yang amat besar.
Potensi ini bisa dilihat dari jumlah pengguna internet yang melakukan belanja online yang selalu naik tiap tahunnya. Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menyatakan pengguna internet yang berbelanja daring mencapai nilai transaksi sebesar Rp 75 triliun pada 2017.
Angka yang fantastis ini baru berasal dari 24,7 juta konsumen. Sementara itu, angka pengguna internet di Indonesia sudah menembus 132,7 juta di awal 2017. Hal itu merupakan bukti potensi yang sangat besar untuk merebut kue pasar perdagangan online di Indonesia.
Kendati demikian, memenangkan pasar Indonesia tidak semudah yang dibayangkan. Masih banyak tantangan yang harus dihadapi oleh pelaku e-commerce hingga sekarang. Mulai dari akses dan kecepatan internet, masalah geografis dan tipografis, hingga metode pembayaran.
Belum lama ini, iPrice meluncurkan riset White Paper pertamanya dengan mengumpulkan data lebih dari 1000 e-commerce di negara Asia Tenggara dalam periode Juli 2016 hingga Juni 2017.
Riset tersebut berisi temuan-temuan menarik terkait perilaku konsumen Indonesia dalam berbelanja online. Temuan ini tentu bisa menjadi sebuah insight yang bermanfat bagi pemain e-commerce untuk menentukan strategi marketingnya dalam merebut hati konsumen.
Dari hasil riset tersebut, ditemuan lima fakta unik mengenai tren perilaku konsumen Indonesia dalam berbelanja daring. Pertama, konsumen Indonesia ternyata lebih suka mampir ke toko daring melalui ponsel pintar mereka.
Penggunaan smartphone yang semakin bertambah tiap tahunnya ternyata sejalan dengan peningkatkan trafik mobile terhadap situs toko online. Hal ini ditandai dengan peningkatan kunjungan mobile denganrata-rata sebesar 19% di Asia Tenggara dalam kurun 12 bulan.
Sementara itu, data sampel e-commerce yang beroperasi di Tanah Air menunjukkan rata-rata sebesar 87% trafik berasal dari penggunaan mobile. Temuan ini menunjukkan pangsa mobile adalah potensi yang besar untuk meraup kunjungan atau trafik yang lebih tinggi.
“Hal ini bisa dilakukan oleh para pemain e-commerce dengan menginvestasikan pengembangan situsnya agar lebih mobile-friendly,” jelas Content Marketer iPrice Group, Indah Mustikasari, kepada Bisnis belum lama ini.
Tren perilaku konsumen ini nampaknya sudah diprediksi oleh Shopee, yang sedari awal sudah fokus pada platform mobile sehingga konsumen lebih mudah mencari barang dan berbelanja. Tren peningkatkan trafik mobile ini pun turut mendorong Shopeeberinvestasi banyak pada mobile app.
Kedua, konsumen Indonesia lebih suka melihat barang lewat ponsel tetapi berbelanja melalui komputer desktop. Kendati jumlah trafik dari mobile menyumbang rata-rata 87% dari total trafik, konsumen masih lebih suka melakukan transaksi melalui desktop.
Inilah uniknya perilaku konsumen Indonesia dan juga negara-negara berkembang lainnya di Asia Tenggara. Terdapat istilah conversion rate, secara singkat merujuk pada kunjungan yang berujung pada pembelian produk.
“Riset menunjukkan conversion rate kunjungan desktop 200% lebih tinggi dibandingkan conversion rate dari kunjungan mobile,” kata Indah.
Data tersebut menunjukkan perilaku umum konsumen online Indonesia, yakni melihat-lihat barang melalui mobile atau aplikasi, namun baru belanja lewat komputer atau laptop.
Menurut Andrew Prasatya, Content Marketing Lead iPrice, konsumen lebih suka bertransaksi melalui desktop karena dinilai lebih nyaman, mudah, dan terpercaya.
“Layar lebar desktop memang menawarkan ruang yang lebih luas, dapat melihat semua fitur dalam sekali pandang, dan lebih mudah memilih produk yang diinginkan. Hal inilah yang mungkin belum bisa ditawarkan oleh layar mobile yang memiliki keterbatasan ruang untuk menampilkan fitur sebuah situs,” paparnya.
Meskipun jumlah trafik mobile tidak serta-merta memiliki conversion rate yang tinggi, hal ini juga bisa menjadi referensi kebijakan para pelaku e-commerce. Misalnya bagi pemain yang baru berkecimpung dalam perdagangan online, mungkin ada baiknya bila fokus para peningkatan trafik terlebih dahulu dengan mengembangkan kualitas situs mobile.
Ketiga, rerata pembelanjaan konsumen Indonesia adalah Rp481.000. Terdapat istilah basket size yakni nilai rata-rata pembelanjaan tiap konsumen pada periode tertentu. Meski secara kategori vertikal e-commerce terdiri dari berbagai macam bentuk seperti fesyen atau elektronik, rata-rata jumlah pengeluaran orang Indonesia saat belanja online mencapai US$36 atau Rp 481 ribu.
Menilik dari kacamata regional, nilai tersebut membuat Indonesia menduduki posisi basket size terendah kedua di Asia Tenggara. Kalau jauh dengan Singapura yang mencapai US$91.
Nilai basket size tersebut juga menunjukkan purchasing power konsumen Indonesia saat bertransaksi online. Hal ini tentu berbanding lurus dengan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita negara.
“Dari segi pelaku e-commerce, temuan nilai basket size ini bisa menjadi pandangan untuk menentukan target pasar, harga produk yang dijual, hingga strategi promosi yang digunakan,” jelas Andrew.
Keempat, konsumen Indonesia suka berbelanja dari pada hari kerja. Jika Anda pernah mengira orang Indonesia suka belanja online saat akhir pekan, ternyata asumsi tersebut salah besar. Justru konsumen Indonesia adalah yang paling aktif berbelanja online di hari kerja di siang hari.
iPrice mencatat dari keseluruhan sampel, puncak pemesanan barang paling populer adalah pada pukul 10.00 pagi hingga 5.00 sore. Selain itu conversion rate paling tinggi juga terjadi pada hari Rabu, sementara di akhir pekan conversion rate justru turun hingga 30%.
Pada periode kuartal ketiga 2016 hingga kuartal kedua 2017, jumlah pesanan pada pukul 11.00 rata-rata lebih tinggi 69 persen dibandingkan jam lainnya. E-commerce pun masih mendapatkan banyak pesanan pada pukul 16.00 yakni saat orang-orang sedang pulang kerja.
Hasil riset tersebut juga tidak kalah jauh dari penelitian perilaku belanja online di Amerika Serikat. Firma CNBC menyatakan bahwa 31,2% konsumen online melakukan transaksi di jam kerja. Dalam laporan Workarea, di hari Jumat dan Sabtu umumnya konsumen beraktivitas offline.
Selanjutnya pada Minggu mereka mulai berselancar kembali untuk mencari produk yang kemudian dimasukkan ke dalam wishlist atau bookmark. Temuan-temuan ini tentu bisa menjadi referensi para pelaku e-commerce untuk kapan melakukan flash sale ataupun strategi promosi yang menarik konsumen untuk melakukan transaksi.
Kelima, metode pembayaran transfer bank masih tetap populer. Dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia dan Singapura yang rata-rata pembayaran dilakukan menggunakan kartu kredit, konsumen Indonesia masih nyaman menggunakan cara konvensional saat berrbelanja online.
Meski metode pembayaran yang ditawarkan e-commerce sudah cukup beragam, riset iPrice yang memakai sampel data dari 200 lebih e-commerce lokal menemukan 94% transaksi masih didominasi metode transfer bank. Metode Cash on Delivery (COD) pun masih populer, terbukti sebanyak 43% e-commerce masih menawarkan opsi tersebut.
Wajar bila kita melihat pilihan pembayaran konsumen Indonesia cenderung masih konvensional. Hal ini dikarenakan masih banyak orang dewasa yang belum memiliki rekening bank, yakni sekitar 150 juta orang.
Penetrasi kartu kredit di Indonesia juga masih paling rendah dibanding negara lain di Asia Tenggara. Codapay mencatat penetrasi kartu kredit di tahun 2015 hanya sebesar 1,6%.
Trust issue juga menjadi alasan COD masih banyak dipakai oleh konsumen meskipun sebenarnya tidak efektif. Secara bersamaan, data tersebut menunjukkan ada yang kurang matang di sistem pembayaran e-commerce Indonesia. Sistem pembayaran ini tentu masih menjadi masalah klasik yang tak kunjung usai dalam pekerjaan rumah pelaku industri e-commerce.(BISNIS.COM)
Comments