STARJOGJA.COM.SLEMAN – Melasma atau kelainan hiperpigmentasi dengan predileksi pada wajah lebih banyak terjadi pada wanita dengan usia reproduktif, meskipun kelainan ini dapat juga terjadi pada pria. Selain faktor genetik dan umur, salah satu faktor risiko kelainan ini adalah paparan matahari.
“Hasil penelitian terdahulu mengenai hubungan paparan matahari dengan kejadian melasma menunjukkan paparan matahari mempunyai hubungan sebagai faktor risiko terjadinya melasma,” tutur Betty Ekawati Suryaningsih saat mengikuti ujian terbuka program doktor di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM, Rabu (25/4).
Melasma, ujar Betty, sering berdampak negatif pada kualitas hidup penderita dalam berhubungan sosial karena menimbulkan rasa malu, rendah diri, dan tidak puas pada penampilannya. Bahkan, pada beberapa kasus dengan skor melasma area severity index (MASI) yang tinggi dapat menyebabkan penderita ingin bunuh diri.
“Selain signifikan mengganggu kualitas hidup kehidupan seseorang, yang tidak kalah pentingnya adalah biaya pengobatan yang sangat mahal namun tidak memberikan hasil yang memuaskan,” ucapnya.
Ia memaparkan, berdasarkan distribusinya melasma dibagi menjadi tiga tipe, yaitu tipe sentrofasial yang mengenai area dahi, pipi, atas bibir, dagu, dan hidung, malar pada area pipi dan hidung, serta mandibular pada area ramus mandibular. Di antara ketiga tipe tersebut, tipe sentrofasial merupakan tipe yang paling banyak terjadi, dengan persentase sekitar 65%.
Penelitian melasma yang ditinjau dari beberapa faktor seperti paparan matahari dan hormonal, menurutnya, telah banyak dilakukan. Namun, belum ada penelitian yang meninjau segi genetik gen MCIR, gen yang meregulasi sistem pigmentasi pada makhluk hidup. Karena itu, dalam disertasinya ia meneliti hubungan faktor genetik dengan kejadian, derajat, keparahan, dan tipe melasma pada wanita suku Jawa di Yogyakarta.
“Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran hubungan polimorfisme gen MCIR dan IL-1RA dengan kejadian, derajat berat dan tipe melasma dalam sudut pandang genetik untuk populasi wanita suku Jawa dan mengembangkan penatalaksanaan melasma di masa mendatang,” imbuh pengajar di Universitas Islam Indonesia ini.
Dalam penelitiannya, ia menemukan adanya hubungan antara polimorfisme gen MC1R Val 92Met dengan kejadian melasma serta derajat berat melasma. Meski demikian, tidak terdapat hubungan antara polimorfisme gen tersebut dengan tipe melasma pada populasi wanita suku Jawa di Yogyakarta.
Bagi para peneliti di bidang serupa, ia memberikan saran agar dapat dilakukan penelitian analisis seluler signaling untuk menilai respons polimorfisme gen MC1R terhadap pacuan MSH. Sementara itu, bagi masyarakat, ia memberikan saran untuk menggunakan tabir surya secara rutin.
sumber : ugm.ac.id
Comments