STARJOGJA.COM, Yogyakarta – Belakangan ini, Susu Kental Manis (SKM) tidak hanya sering disebut dan dibicarakan diantara penjual dan pembeli di warung mie instan atau warung angkringan, namun mendadak dibicarakan oleh banyak orang termasuk netizen di dunia maya. Dikatakan mendadak, karena secara tiba-tiba ada berita yang isinya menjelaskan seperti apa sebenarnya kandungan dalam produk SKM.
Seluruh produk susu kental dan analognya, tidak dapat menggantikan produk susu dari jenis lain sebagai penambah atau pelengkap gizi. Susu Kental Manis bukan untuk pengganti asupan susu, bahkan untuk air susu ibu (ASI). Setidaknya itu yang dikatakan Kepala BPOM.
Terkait info ini, kemudian banyak muncul tanggapan. Banyak pihak memberikan komentar bahwa BPOM selama ini kurang transparan dalam memberikan info terkait produk Susu Kental Manis. Senada, banyak yang mengatakan sosialisasi ke masyarakat umum dari produsen dan BPOM terkait wacana ini masih sangat kurang.
Komentar dan kritik kemudian menjalar ke iklan produk Susu Kental Manis. Iklan SKM dinilai cenderung tidak jujur, dan membuat orang (penonton) mempersepsikan SKM adalah sama seperti susu bubuk kalengan, atau bisa sebagai pengganti asupan susu. Kemudian, ada lagi yang berkomentar sedikit mengagetkan, karena menganggap media yang menayangkan iklan ikut bertanggungjawab. Media dianggap kurang memperhatikan kepentingan konsumen, dan hanya mementingkan keuntungan semata, dsb.
Disini saya tidak akan membenarkan atau mensalahkan pihak manapun. Termasuk tidak akan mempertanyakan, ada apakah kog tiba-tiba tanpa ada kasus yang mendahuluinya, berita mengenai kandungan isi SKM ini menjadi melambung. Saya justru tertarik dan tergelitik terhadap persepsi seseorang, yang menganggap kandungan susu kental manis setara dengan susu bubuk, bahkan bisa sebagai pengganti ASI. Kemudian bagaimana persepsi itu katanya terpicu dari iklan SKM yang beredar di media, sehingga iklan dan media ikut dituding ikut berperan.
Akhirnya timbul pertanyaan, apakah memang iklan di media masa saat ini begitu dasyatnya, sehingga bisa membuat persepsi penonton seperti itu. Atau masyarakatnya yang kurang bisa menyadari apa itu iklan dan bahasa iklan, sehingga mudah terbujuk dan terlena dengan tayangan iklannya. Atau adakah hal hal lainnya, seperti pengetahuan atau wacana seseorang tentang susu kental manis di jaman sekarang tergolong kurang.
Anggap saja produk iklan saat ini memang luar biasa dasyat, sehingga bisa “membius” memanipulasi, dan mengakibatkan penonton terperdaya sehingga mengakibatkan salah mempersepsikannya, seperti yang katanya terjadi pada iklan susu kental manis. Sepertinya aneh jika jaman sekarang masih gampang terperdaya oleh iklan. Jika boleh saya bandingkan, berdasarkan ingatan dan pengalaman saya dijaman dahulu, orang-orang sepertinya tidak sampai menganggap susu kental manis itu sama atau setara dengan susu bubuk, terlebih ASI. Padahal, dahulu dalam iklannya juga tidak dicantumkan keterangan bahwa susu kental manis berbeda dari susu bubuk dan ASI. Sehingga, ada kemungkinan masyarakat saat inilah yang justru gampang sekali termakan oleh iklan dan bahasa iklan. Sekali lagi, hal ini berbeda dengan jaman dahulu. Dulu, sepertinya orang-orang sudah paham dan maklum. Tanpa belajar teori tentang iklan, teori persuasif, dan proses produksi iklan, sepertinya semua paham bahwa iklan memang sengaja dibuat sedikit berlebihan. Justru itulah daya tarik iklan. Sehingga tidak ada yang protes dan merasa diperdaya dengan iklan. Misalnya, orang menjadi kuat, bisa lari kencang, otot terbentuk sangat sempurna, hingga juara dalam pertandingan. Tanpa harus diberi keterangan tambahan atau caption, bahwa jalan cerita serta hubungan sebab -akibat dalam iklan hanya rekayasa, bukan kisah nyata, sepertinya semua sudah paham iklan itu seperti apa, dan tahu juga dimana batas-batas hiperbola yang dipakai iklan. Demikian juga saat menyikapi produk minuman susu cair merk U***A,. Sepertinya dahulu juga tidak pernah mempersepsikan bisa sebagai pengganti ASI. Kemudian, produk sari buah kemasan juga tidak pernah dianggap sama dengan buah-buahan segar, apalagi kandungan vitaminnya.
Beberapa produk lainnya seperti teh manis kemasan juga tidak ada yang menafsirkan atau mempersepsikan sama, sehingga bisa menggantikan teh buatan ibu dirumah yang disajikan kala pagi dan sore dengan merebus terlebih dulu teh kamasan tadi.
Nah, lantas apa sesungguh yang jadi penyebab saat ini, hingga ada yang salah persepsi dalam membaca (menonton) iklan. Kalupun pengetahuan atau wacana seseorang tentang susu kental manis di jaman sekarang tergolong kurang, ini juga ironis. Sebab jaman sekarang adalah jamannya informasi. Ketika wacana dan informasi dijaman sekarang ini tidak bisa terbendung, sehingga bisa diakses setiap orang di segala penjuru dan lapisan, masihkah ada kemungkinan salah dalam menerjemahkan iklan sehingga berakibat men-general-kan semua produk susu? Apakah masih akan menyalahkan pihak luar, sehingga seseorang dengan informasi yang dipunyai-nya, tidak mampu membedakan susu kental manis dengan susu bubuk dan ASI?
Entah apa yang kurang pas dijaman sekarang ini, disaat dunia makin serba canggih dengan bantuan teknologi justru penyebaran informasi tertentu terkadang tidak tersampaikan. Dahulu, sepertinya semuanya menjadi tahu begitu saja. Sepertinya, secara alami kita telah punya wacana secara turun temurun. Mungkin lingkungan, budaya, serta gaya hidup sehari-hari secara otomatis dan secara tidak sengaja memberitahukan generasi dibawahnya tentang informasi-informasi apapun, termasuk susu kental manis ini.
Semua sepertinya paham, bahwa susu kental manis, hanya sebagai campuran makanan atau minuman lain. Kalaupun diminum, sadar jika ini hanya untuk minuman biasa untuk enak-enakan saja, dan bukan pengganti susu. Apalagi, dari rasa dilidah-pun jelas beda dengan susu bubuk, apalagi ASI. Kami-kami tidak perlu melihat daftar kandungan berikut bahasa kimianya, hanya untuk mengerti bahwa SKM memang beda, dan tidak setara dengan susu bubuk maupun ASI. Ada semacam input dari lingkungan sekitar yang sebabkan kami tahu, dan itu menyebar, berjalan dengan sendirinya seiring umur kami dan generasi dibawah kami.
Apakah memang ada perubahan budaya dan kebiasaan di lingkungan masyarakat, sehingga ada degradasi yang terjadi pada kebiasaan penyampaian informasi semacam getok tular ? Mungkinkah generasi yang lebih tua sekarang tidak lagi secara verbal, spontan, turun temurun, dan sambung menyambung, menyampaikan pesan yang dirasa penting dalam kehidupan sehari-hari? Jika benar alangkah dasyatnya penyebaran informasi serta wacana dijaman dahulu yang masih minim teknologi dan media, namun justru penetrasinya sangat efektif dan berlangsung lama hingga beberapa generasi. Menurut anda?
Comments