STARJOGJA.COM, Yogyakarta – Suatu hari anak pertama saya bertanya ke istri, Bu kenapa air laut itu asin? kata anak saya dengan polosnya. Kami tidak kaget karena sudah berapa banyak pertanyaan yang diucapkan mulut mungilnya itu soal sesuatu yang membuatnya penasaran. Tidak hanya bertanya soal pengetahuan alam, soal agama juga sering muncul dari benak anak yang berumur 6 tahun ini. Kenapa tuhan itu ada, siapa nabi Muhammad? kenapa nabi terakhir dan kenapa sholat dhuhur dan ashar ketika sholat tidak di suarakan dengan keras seperti sholat Magrib dan sholat Isya?
Ratusan pertanyaan itu muncul dari benak anak-anak yang menurut saya Tuhan pasti memiliki pesan melalui anak-anak yang bertanya. Kembali soal air laut asin. Waktu itu memang tidak langsung dijawab kenapa air laut asin, karena ilmu itu pernah diajarkan waktu masih sekolah. Sehingga jawaban itu harus saya emban untuk menjelaskan dengan enak dan pas ke anak.
Saya coba jelaskan dengan gampang bahwa air laut berawal dari air hujan yang turun ke sungai dan menuju ke laut. Ketika lewat sungai yang ada batunya itu memiliki kadar garam. Jadi saat air yang mengalir di sungai dan sampai ke laut garam itu berkumpul di laut. Lalu kena sinar matahari dan airnya menguap atau hilang sementara garamnya masih di dalam laut sehingga airnya terasa asin.
Baca Juga : Masyarakat Harus Aktif Bertanya Saat Membeli Obat
Waktu itu jawaban sekenanya itu terucap saja. Hasilnya, anak saya hanya mengangguk dengan jawaban itu. Lalu pertanyaan lainnya airnya kok hilang tapi dilaut kan masih ada air. Matilah sudah.
Pertanyaan simple itu bagi orang dewasa ternyata memiliki tingkat kesulitan sendiri. Tapi pointnya, menjadi orang tua itu tidak mudah. Karena kami sebagai orang tua sangat menjaga lingkungan atau budaya bertanya seperti itu. Sebab ada teman wartawan senior waktu itu pernah menangis gara-gara ini. Teman saya itu bercerita ketika di luar negeri (kalo ga salah Amerika) berkunjung ke sebuah museum.
Pengunjung diantarkan atau dipandu seorang guide museum disana. Pengunjung waktu itu ada dari kalangan anak-anak hingga kalangan tua. Seorang pemandu menjawab dengan sangat serius pertanyaan yang diajukan pengunjung. Saat itu ia melihat pengunjung kecil berumur 9 tahunan ikut bertanya soal koleksi. Sang pemandu pun menjawab dengan serius, seserius ketika menjawab pertanyaan dari orang dewasa. Baik raut muka, intonasi, hingga kata-kata yang dipakai pemandu itu tidak berubah. Moment itu tidak bisa dilepaskan oleh teman saya itu. Ia menangis waktu itu karena disana anak kecil pun sangat dihargai ketika bertanya. Hal yang tidak pernah ia temui ketika di Indonesia di masanya. Mungkin hingga sekarang. Ketika ada anak kecil bertanya justru malah ditertawakan justru dimarahi hingga disuruh diam.
Menurutnya ada masa ketika waktu kecil dulu saat bertanya malah dikucilkan karena bertanya. Jadi anak-anak waktu itu malu dan tidak PD untuk bertanya. Seringnya, realitas yang saya alami ketika rapat RT atau rapat kantor ada yang nggrundel dibelakang. Kenapa tidak ditanyakan saja langsung saat rapat itu ada. Mungkin itu generasi yang tidak PD dan malu bertanya tadi jadi sukanya nggrundel dibelakang. Hmnnn mau sampai kapan.
Tiba-tiba saya jadi ingat pepatah arab “lihat perkataanya jangan liat siapa yang berkata”. Ketika budaya bertanya ini muncul sejak dini maka ketika dewasa akan terbiasa melihat pertanyaan bukan siapa yang bertanya. Menghargai siapapun yang bertanya akan menciptakan nilai sendiri.
Kembali ke pertanyaan soal air laut, saya kemudian melihat realitas yang ada di lingkungan saya. Saya mengambil kesimpulan bahwa Tuhan punya pesan dengan air laut untuk saya dan lingkungan sekitar saya. Baik di kantor, di rumah, di RT hingga kampung. Ya…asin, maka jangan pernah Nguyahi Segoro.
Comments