STARJOGJA.COM, Yogyakarta – Malam itu kopi hangat sudah ada di meja saat melihat televisi dengan atlet Indonesia meraih emas di Asian Games 2018. Bangga rasanya dan ikut senang orang kita memenangi kompetisi terbesar di Asia ini Asian Games 2018. Terlebih sang atlet yang meraih emas itu akan diguyur bonus milyaran rupiah. Dalam hati, kalo 0,1 persen dikasihkan ke rekening saya pun jelas tidak menolak. Menang, juara, medali emas dan bonus sepertinya jadi bagian yang tidak pernah lelah dinikmati. Jadi menarik perhatian saya dahulu bagaimana sistem “ini” berjalan. Maksudnya ‘ini” adalah ketika menang juara dapat medali emas, uang, dapat bonus dll.
Bisa saja dahulu ikut kompetisi saja sudah dianggap sebagai juara. Tidak ada hadiah, tidak ada ceremony, tidak hiruk pikuk, tidak ada nama dielu-elukan semua berjalan biasa saja. Mungkin saja. Karena melihat kebelakang saat kita masih dalam bentuk kerajaan. Kompetisi itu muncul lewat sayembara. Sayembara dibuat kerajaan dan yang dapat memecahkan masalah atau memangkan lomba mendapat imbalan dari kerajaan. Bisa saja hasil bumi, bisa ucapan terimakasih, diberi gelar kebangsaan hingga menjadi anggota keluarga kerajaan.
Eropa mungkin kita bisa melihat dari era koboi di Amerika, saat kompetisi mencari tahanan yang buron atau most wanted. Itu imbalan uang yang jelas disana. Uang dan berlian menjadi minat bagi peserta kompetisi tersebut.
Bagaimana kalo di budaya timur seperti kita. Apakah masih tetap sama ya. Kalau di Arab atau dari cerita di kerajaan daerah sana juga sama dengan adanya sayembara. Hadiahnya bisa macem-macem juga, ada uang, harta atau anggota keluarga kerajaan.
Kalau kerajaan di Nusantara kita ini, berkembang cerita sayembara bagi siapa saja yang mampu menyembuhkan sang raja akan mendapat imbalan besar. Banyak atau tidak pesertanya tidak tahu ya, sebab bisa saja kalau ikut tenyata tidak bisa menyembuhkan malah dapat celaan, hinaan, dikucilkan atau bahkan disanjung karena sudah berusaha menyebuhkan sang raja. Menarik kalau bisa time travel ke jaman itu. Kalau ternyata sang raja sakit tipes kan kita bawa obat dari tahun ini dan dibawa ke jaman itu untuk menyebuhkan sang raja. Mungkin ada nama saya di buku kerajaan atau serat-serat kerajaan. Rumayan.
Kerajaan juga pernah buat kompetisi untuk menikahkan anak perempuannya dengan adu gulat. Sehingga yang benar-benar jagoan menjadi menantu raja. Mungkin sang raja waktu itu ingin mencarikan jodoh anaknya yang terkuat dan terbaik melalui kompetisi atau sayembara kerajaan. Kompetisi itu dibuat mungkin raja tidak setuju dengan lamaran ke anaknya dari kerajaan lain.
Kemudian yang menang lomba itu diperlihatkan di depan rakyatnya dan dikalungkan emas dan sah menjadi menantunya. Mungkin itu pertama kalinya budaya mengalungkan medali emas ke pemenang kompetisi.
Budaya itu pun terus berjalan sampai sekarang dengan pengalungan medali emas, uang dan penghargaan lain.
Mungkin juga lho yang menang sekarang di Asian Games itu bukanlah juara sejatinya. Untuk melihat juara sejati itu kan parameternya banyak lebih kompleks bahkan. Misal, Jonatan Christie yang sedang digilai cewek-cewek karena buka baju saat menang di Asian Games. Misal dia tidak buka baju apakah dia tetap juara, tetap digilai cewek-cewek. Bagaimana kalo yang menang itu bukan Jonatan Christie? Apakah tetap masih sama responnya.
Juara itu kalo orang Jogja bilang ” nek menang ora ngasorake”. Kalo pemenang kemudian buka baju dan lari-larian merayakan kemenangan itu bagaimana dengan perasaan yang kalah. Memang dalam kompetisi itu ada yang menang dan ada yang kalah. Tapi saat menang, mental juara itu mungkin tidak melakukan hal-hal yang membuat sang lawan merasa sakit hati.
Jadi teringat cerita orang tua soal pendekar jaman dahulu. Ketika menang duel tidak ” umuk” di kalangan komunitasnya. Bahkan ada beberapa duel yang dilakukan tertutup karena menghargai jalannya duel itu. Jika dilakukan terbuka, maka berita kekalahan itu tersebar akan membawa nama pendekar itu jatuh. Bahkan ada pendekar yang rela ngalah dalam duel itu agar nama baik pendekar itu tetap baik di mata masyarakat.
Juara itu dengan rendah hati menerima kekalahan atau mungkin mengalah (karena dia mampu menang) demi menjaga perasaan lawan. Jika melihat kondisi ini jelas tidak mungkin akan melepas baju dan berlarian merayakan kemenangan.
Sepertinya jadi kabur ya? mungkin. Tapi jelas pemenang dan juara ada sekatnya. Satu sisi pendekar yang mengalah tadi bukan pemenang tapi jelas juara. Karena mampu menekan rasa kemenangan demi menjaga perasaan sang lawan.
Tapi kalau dilihat di wikipedia Juara adalah seseorang maupun kelompok yang telah memenangkan turnamen, kompetisi, liga , Olimpiade, atau kontes dalam bidang tertentu (misal bidang seni, kesenian, olahraga, menyanyi, ataupun iptek dan sains, dan lain-lain).
Berbeda ya, sah-sah saja wong ini bahasa saya. Anda bisa menggunakan bahasa anda sendiri. Saya teringat kembali saat anak pertama saya ikut lomba 17-an di kampung. Sebelum berangkat lomba anak saya ditanya istri. “Kakak nanti mau ikut lomba apa saja?,” kata istri. Anak saya menjawab mau ikut apa ya, nanti kalau ga juara gimana bu? Saat itu secara kebetulan sang istri menjawab, “Lho kakak itu ikut lomba saja udah juara lho,” kata istri. “Ya udah deh kalo gitu ikut semuanya,” kata anak saya semangat.
Pulang lomba anak saya bercerita kalo dia hanya menang lomba memasukan pensil ke botol. Waktu itu kita sebagai orang tua sudah bangga dan senang. Namun tetangga bercerita kalau anak saya juara lho. Iya saya tau kalo menang lomba itu dan dapat hadiah. Tapi tetangga itu justru bercerita kalo anak saya bisa memenangkan lomba balap karung kalau tidak menunggu anaknya yang terlambat di belakang. Anak saya dengan polosnya berdiri di depan menunggu anaknya sampai di garis finish bersama-sama. Hmnn…ini baru juara. Tidak menang saat lomba itu tapi itu juara di hati bapakmu nak!.
Lama menikmati Perayaan Victory Ceremony Asian Games, saya tersadar masih ada secangkir kopi di meja. Akhirnya kopi di meja kuminum dan terasa pahit, asem. Karena sejatinya rasa kopi ya pahit dan asem bagi saya.
Comments