STARJOGJA.COM, Yogyakarta – Pada suatu titik, kita akan menemukan kecocokan atau chemistry yang membuat membawa kedalam zona nyaman. Bisa menjadi hal yang baik, namun bisa juga mengarahkan kita pada sesuatu yang sebaliknya.
Masa sih? Setidaknya begitu menurut saya. Begini argumennya.
Pernahkah anda mencermati bahwa dalam hubungan percintaan prosesnya hampir sama atau mirip dengan hubungan profesional? Tergoda pada kesan awal saat melihat lowongan pekerjaan, yah mirip-mirip lah dengan saat seseorang melihat dan kemudian tertarik kepada lawan jenis.
Baca Juga : Enemy or Nobody : The Art Of Not Giving A ….
Prosesnya berlanjut dengan mempelajari lebih jauh tentang si lawan jenis, sekaligus menimbang-nimbang tentang kelayakan dan kemampuan diri, kemudian memberanikan diri untuk menulis dan memasukkan surat lamaran.
Kemudian surat lamaran yang dimasukkan, tentunya akan melewati fit and proper test dan juga tidak jarang wajib menempuh test atau ujian sebelum pada akhirnya diterima.
Proses penjajakan sekaligus penilaian lanjutan atau bolehlah disebut sebagai probation dalam dunia kerja, biasanya dilakukan selama 3 bulan. Dan jikalau nanti hasilnya kurang memuaskan atau tidak mencapai standart yang ditentukan, bisa jadi, selesai sudah nasib kita di instansi itu.
Lain hal dengan karyawan yang sudah dianggap memenuhi standar (minimal). Itu artinya jatah untuk ngantornya masih berjalan. Masih punya kewajiban untuk menjalankan apa yang disyaratkan dalam deskripsi pekerjaannya, sekaligus tentunya mendapatkan hak untuk menerima gaji beserta tunjangan dan fasilitas.
Permasalahan yang kerap ditemui saat karyawan sudah bekerja lama di satu instansi adalah faktor kenyamanan. Berada di zona nyaman mau pilih bertahan atau berlari.
Ada yang saking nyamannya, jadi merasa bahwa kantor adalah rumah kedua. Tidak, saya tidak mengatakan bahwa hal itu buruk. Karena bisa jadi dengan tingkat kenyamanan yang tinggi, kita merasa memiliki tanggungjawab tersendiri untuk merawat dan membesarkan “rumah”, dengan melakukan pekerjaan secara maksimal, atau dengan berkontribusi dan hand to hand membantu tugas team.
Bagus kan?
Yang menjadi tidak baik adalah saat karyawan sudah tidak menemukan kenyamanan di tempat kerja. Pemicunya bisa bermacam-macam. Ada yang kurang puas terkait gaji dan fasilitas. Ada juga yang merasa bahwa job desc yang diberikan tidak sesuai dengan perjanjian di awal kerja, atau sesepele “cemburu” pada kawan yang berhasil naik jabatan, padahal menurutnya, kapabilitas dan masa kerja, notabene sama.
Disini kedewasaan sangat dibutuhkan.
Kedewasaan siapa? Semua pihak.
Sebagai pimpinan, yang perlu dipikirkan adalah langkah yang selanjutnya diambil. Bagimana cara agar karyawan tadi tidak kemudian kendor semangatnya dan patah arang yang fatalnya bisa berujung pada tidak tercapainya target-target yang ditetapkan.
Sebagai karyawan, tentunya yang bersangkutan perlu untuk tidak berlama-lama terbawa perasaan. Sedih dan down itu normal, tetapi yang patut ditekankan adalah bahwa di perjalanan waktu, ada aspek-aspek yang bisa ditingkatkan, sehingga pada kesempatan berikutnya, dia akan siap menghadapi test lainnya.
Untuk rekan yang berhasil naik jabatan, keberhasilan jelas layak dirayakan dan disyukuri. Namun akan bijaksana apabila selebrasi tersebut tidak berlebihan dan berujung pada makin lebarnya jarak pertemanan. Berbagi tanpa menggurui dan merasa lebih, harus digarisbawahi.
Problematika sederhana dan acap terjadi, namun bisa jadi kompleks saat 3 elemen tadi memiliki ke-aku-an yang tinggi. Saling tidak peduli dan tidak mau tau. Berada di zona nyaman mau pilih bertahan atau berlari.
Saya? Masih dalam proses belajar dan mengamati. Jalannya masih panjang.
Intinya, semoga kita menjadi pribadi yang bersikap dan berpikir positif. Pribadi yang mau terus belajar.
Dan saya sih lebih setuju dan menghargai orang yang jika memang sudah tidak menemukan kenyamanan, memilih untuk resign, daripada terbersit niat untuk melakukan sabotase atau provokasi, sehingga secara langsung atau tidak, mengganggu kinerja rekan lain dan stabilitas instansi.
Just my 2 cents, though.
Comments