STARJOGJA.COM, Kopiku – Hidup adalah pilihan. Bagaimana akan menjalaninya, keputusan ada di tangan kita. Apakah ingin memiliki kehidupan yang menyenangkan atau hidup bermanfaat bagi orang lain.
Buat saya, hidup itu sebisa mungkin yang nyaman, tidak merugikan dan mengganggu orang lain. Sudah, sesimpel itu. Realistis, sekali lagi menurut saya.
Tapi ternyata, prinsip itu nampaknya perlu dirombak sedikit setelah saya bertemu dan ngobrol panjang dengan salah satu kawan yang sejatinya belum terlalu lama saya kenal.
Namanya Andy, pemilik brand Kopi Pangrango.
Baca Juga : Saat Klasik Beans Seimbangkan Kopi dengan Alam
Sosok pria yang saat perjumpaan pertama kami setahun yang lalu, memunculkan kesan yang begitu menggoda. Ramah dan cerdas. Kombinasi maut.
Namun ternyata seiring waktu, saya baru menyadari bahwa tampaknya ada banyak kualitas lain yang layak disematkan padanya. Tapi sekarang ngga usah dituliskan dulu ya. Nanti anda simpulkan sendiri deh, apa saja kualitasnya.
Malam itu, saya melihatnya terlebih dahulu, ketika dia sedang sibuk ngobrol dengan beberapa orang yang mencicipi Kopi Pangrango seduhannya. Terus terang, saya menikmati pemandangan itu, karena bagi saya, kemampuan seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain, sedikit banyak menjelaskan tentang karakternya.
Sayapun memilih untuk duduk di lokasi yang agak jauh. Sembari menikmati suasana dan tentu segelas kopi Pangrango.
Setelah beberapa lama, akhirnya dia mendekat. Sapa hangat dan jabat tangan, menjadi formalitas tersendiri dari setiap pertemuan kami. Kenapa formalitas? Karena saya bukan tipe orang yang suka berjabat tangan. Aneh aja gitu rasanya. Lalu apa gantinya? Hmm, yang lain saja.
“Pindah sana aja yuk yang lebih enak”
Ajakan yang kemudian menuntun kami berdua berbagi cerita. Ah bukan. Tepatnya saya yang banyak bertanya, dan dia bercerita.
Terjun ke dunia pertanian dan industri Kopi karena “terpaksa”, membawanya hinga sejauh ini.
Terpaksa, karena dia sadar bahwa dirinya bukanlah orang yang tahan kerja kantoran dan bisa bekerja pada orang lain. Hal itulah yang menggerakkannya mengambil keputusan berani di tahun 2010 untuk beralih profesi.
Berbicara tentang Kopi, artinya berbicara tentang hal yang sangat luas cakupannya. Kompleks. Tidak melulu berbicara tentang biji dan seduhannya, melainkan industri secara menyeluruh, hulu hingga hilir.
Wajahnya berubah serius saat mengawali perbincangan.
“Aku ki sedih ngeliat orang di desaku, Cikancana, Cianjur. Kondisi perekonomiannya pas-pas’an banget. Mayoritas menengah ke bawah. Wis ngono, ketambahan tanamannya ga produktif dan harga jualnya juga rendah. Kecuali mereka yang udah jadi pengepul atau tengkulak sayur. Yah, kesenjangannya keliatan banget lah. Pengin ajak mereka untuk gerak bareng biar bisa ngangkat nama desa, sukur-sukur bisa ngangkat nama Indonesia.”
Pertanyaan menggantung di benak, karena sejauh yang saya tau, kawan saya ini bukan asli dari daerah itu. Orang tuanya pun tidak tinggal disana.
Seakan mampu membaca pikiran, kisah mengalir kembali.
“Uripku ki serba kebetulan. Kebetulan orang tua punya lahan yang cukup luas. Nek aku dhewe, ga punya niat sama sekali beli tanah disana. Ya sudah, karena ada, terusin aja sebisaku. Kebetulan juga jenuh dengan ritme kerja kantoran. Jadi petani tampaknya masuk akal. Nandur Kopi.”
Saya berusaha memahami pikirannya, tapi kesulitan.
Bagaimana tidak? Seseorang dengan rekam jejak akademis yang cukup bagus, memiliki posisi yang oke dengan gaji yang lebih dari cukup di 1 instansi plus ditambah dengan latar belakang keluarga yang berada, memutuskan untuk banting setir menjadi Petani. Sama-sama bekerja memang, tapi sifat pekerjaannya beda 180 derajat. Kerja kantoran nan adem dan resik berbanding dengan kerja kasar yang panas dan banjir keringat. Belum lagi dengan cita-citanya yang aneh. Ingin berbagi.
“Kita ini hidup kan ga sendiri. Secara ga langsung, aku punya hutang pada Cianjur. Hutang sumber daya alam. Jadi ya merasa punya kewajiban untuk balas budi. Membawa perubahan, sesuatu yang bermanfaat.”
Tidak terasa, secangkir Kopi Pangrango racikannya, tandas saya pandangi. Iya, saya ga salah menulis, karena air putih, menjadi pilihan malam itu. Kopinya? Dihabisin sendiri sama yang bikin lah.
“6 bulan dikebun, untuk nyiapin lahan. Bikin Saung untuk tempat tinggal. Kulonuwun sama orang-orang sana, kenalan. Belajar bahasa juga. Sulit kalo sampai ga bisa.”
“Disana menyenangkan, lancar. Syukur Alhamdulillah dari awal ga ada penolakan dari warga. Justru mereka merasa terbantu karena ada lapangan pekerjaan.“
Entah kenapa, saya tiba-tiba merasa bahwa masih banyak orang baik, dimanapun itu. Pebisnis, pemilik lahan yang tidak hanya memikirkan keuntungan materi saja. Kawan saya yang menganggap para pekerjanya sebagai keluarga, bahkan lebih jauh lagi, mempersilakan untuk turut menikmati hasil kebun, semata untuk memberikan semangat dan dorongan kerja, salah satunya.
“Lahan ada 4 hektar. Tanaman pokoknya Kopi, meski di kebun juga ada Cengkeh, Pala, Sayur, Palawija dan hewan ternak. Hasil tanaman Cengkeh dan Pala, kalo mau dijual oleh pekerja, silakan saja. Uangnya buat mereka.”
Saya terdiam cukup lama sembari berpikir dan berhitung. Gimana dapat untung ya?
“Wah jangan pakai terminologi untung. Rejeki aja. Rejeki itu ya jangan dinilai pake materi tok to. Yang ngatur kan bukan kita, sudah ada bagiannya sendiri. Pokoknya gini, rejeki serahkan sama yang diatas, yang bisa kita usahakan adalah merawat apa yang kita punya. Kebun, tanah dan persaudaraan.”
Komitmen merawat lingkungan sangat kukuh dipegang olehnya.
“Aku ini ketat. Warga boleh menanam di lahan, tapi wajib pake pupuk organik. Jangan merusak. Kalau bukan kita yang ngopeni, siapa lagi? Yo harus mikirin masa depan dong. Merawat sekarang, supaya anak cucu masih bisa merasakan manfaatnya.”
Ah, tampaknya kawan saya adalah salah satu dari sedikit orang yang saya kenal, yang menjalani hidup dengan semeleh. Semua dijalani, mengalir begitu saja, meski ada sesuatu yang tetap dipegang teguh.
Termasuk saat saya tanya apa sebenarnya cita-cita dan harapannya.
“Jadi orang yang berguna. Bermanfaat bagi orang lain. Tau ga, disana Tengkulak itu semena-mena kalo kasih harga? Bayangin, Cherry Robusta cuma dibeli dengan harga Rp 1800,-, sementara yang Arabica Rp 4000,- per kilo. Ga manusiawi to itu?.”
“Cita-citaku, penginku, ngajari. Jangan cuma puas jual Cherry, tapi bisa diolah sampai jadi Green Bean, jadi pendapatannya ya naik. Ada beberapa petani, anak-anak muda yang dateng ke kebun, mau belajar. Ayo. Aku buka semua ilmu yang aku punya. Ga diirit-irit. Ngapain disimpen-simpen? Ga banyak gunanya malahan.”
Kagum? Bisa jadi. Saya suka semangatnya, saya terkesan pada prinsip hidupnya.
“Sayangnya Pemerintah belom terlibat. Tapi ya ga berharap. Males nek di-PHP. Malah sakit hati nanti. Apa yang bisa dilakukan sendiri, ya dilakoni sekarang.”
Waktu terasa bergulir cepat ketika kita menemukan orang yang menyuguhkan sudut pandang yang berbeda. Memberikan wawasan baru, sekaligus membuat kita mempertanyakan lagi apa yang selama ini kita yakini sebagai sesuatu yang benar.
Obrolan selama hampir 4 jam, sangat tidak mungkin saya selesaikan dalam 1 tulisan saja, sehingga bagian kedua ada baiknya anda tunggu.
Di akhir tulisan bagian pertama ini, apakah anda merasa bahwa sosok Andy terlalu ideal untuk menjadi nyata?
Seems too good to be true? You decide.
Masih penasaran? Ngobrol langsung aja sama orangnya.
Tapi hati-hati, bisa-bisa anda lupa waktu.
Catatan : Di bagian kedua kopi Pangrango, saya akan menuliskan bukan hanya tentang hal-hal yang menyenangkan saja, tapi juga kesulitan yang dialami oleh kawan saya dalam mengelola kebunnya.
Ada juga cerita lucu dibalik sosoknya yang terkesan cool (padahal sebetulnya ngga), termasuk sedikit cerita tentang kehidupan pribadinya. Sabar ya.
Comments