STARJOGJA.COM, Yogyakarta – “Mama aku bukan mesin lho. Aku capek tidak mau les !”
Pernyataan aku capek tidak mau les tiba -tiba muncul dari mulut anak seorang teman yang kini sudah masuk ke kelas 6 SD. Dia oleh orang tuanya dijejali les tambahan usai sekolah guna mengejar target kelulusan saat ujian nanti. Di sisi lain, orang tua pun menjanjikan sejumlah hadiah jika dia berhasil meraih nilai baik di sinilah reward and punishment pun bekerja.
Disadari atau tidak, para orang tua saat ini adalah generasi yang dibentuk dari pola pendidikan masa lalu. Mereka biasa dihadapkan pada proses reward and punishment dari para orangtuanya dulu. Kini pun metode serupa mereka terapkan di era digital ini. Sebuah kondisi yang jauh berbeda dengan jaman mereka dulu.
Baca Juga : Belajar Menjadi Manusia Sempurna dari Anak-anak IRD
Sangatlah lumrah ketika kita puas dan bangga saat menyaksikan buah hati kita berprestasi di sekolah. Puja puji akan kita gelontorkan ke mereka ketika meraih rangking terbaik atapun berhasil meraih kejuaraan. Tak jarang obsesi orang tua pun yang bergerak dan membentuk anak-anak polos ini menjadi template dari orang tuanya.
Anak-anak pun didorong untuk mengikuti aneka kegiatan atau les yang terkadang tidak mereka inginkan. Hasrat untuk melihat prestasi di sekolah atau di luar sekolah membuat orang tua menjadikan metode kompetisi adalah sebuah indikator sukses anak.
Tak sadar kita malah terjebak menjadikan mereka sebagai obyek pencetak prestasi. Dan tak jarang orang tua pun harus menelan kekecewaan saat mereka tidak bisa melihat prestasi anaknya seperti yang mereka inginkan.
Meski saat ini rangking sudah ditiadakan di pendidikan kita namun kompetisi di luar sekolah masihlah jadi favorit orang tua. Ambisi orang tua pun bermain dalam kiprah anak anak ini.
Mereka akan menggenjot anak anaknya dengan bermacam les dan bimbingan agar si anak bisa berprestasi. Ganjaran hadiah pun diberikan saat mereka berprestasi. Tapi tak jarang mereka juga dimarahi habis-habisan karena tidak bisa mendapatkan apa yang orang tua harapkan.
Di sinilah sisi negatif itu muncul karena mental anak bisa terbentuk untuk selalu berprestasi hanya karena ada imbalan. Niat belajar muncul karena mengejar hadiah, bukan karena ada keinginan untuk meraih sendiri. Bukan karena kesedaran akan pentingnya meningkatkan ilmu.
Demikian juga dengan punishment, anak anak tak jarang malah menjadi takut. Mereka belajar dibalut rasa takut dimarahi orangtuanya. Saat ini terjadi mereka malah tidak bisa menemukan potensinya. Belajar bukan lagi jadi bagian yang menyenangkan tapi karena adanya “ancaman”
Dari inilah, saya berpendapat metode memberikan reward maupun punishment tak seharusnya diberikan untuk setiap kesempatan. Biarkan anak menikmati belajar itu sebagai sebuah proses tanpa harus dinodai oleh motivasi sesaat . Ajak anak-anak itu untuk menanamkan motivasi dan semangat juang yang muncul dari diri sendiri tanpa harus tumbuh di bawah bayang-bayang orang tua.
Tetap berikan mereka ruang untuk belajar dan menemukan dirinya. Jangan lupa unsur sosialisasi tetap harus dikedepankan. Jangan biarkan generasi kita menjadi generasi apatis yang hanya fokus pada prestasi tapi tak pernah diajari berempati. Kita butuh generasi yang tangguh, smart tapi tetap mampu menjadi pribadi yang rendah hati.
Kata-kata aku capek tidak mau les itu masihkah terdengar. Selamat merenungi Pola Asuh Anda !
Comments