STARJOGJA.COM. OPINI – Korupsi di lembaga publik, merupakan persoalan yang sangat serius yang dihadapi negeri ini. Praktik korupsi ini juga sudah berlangsung lama, bahkan sejak birokrasi Indonesia masih bercorak tradisional di era kerajaan (Suwarno, 1994). Di era birokrasi modern, praktik korupsi tidak surut, tetapi justru kian marak. Ini terjadi baik di era Orde Baru (Orba) maupun pasca reformasi hingga saat ini.
Upaya penegak hukum membersihkan praktik korupsi termasuk pungutan liar (pungli) dalam tubuh birokrasi terus dilakukan. Ini terjadi di tingkat pemerintah pusat hingga daerah. Berbagai kasus korupsi maupun pungli diunggkap. Pejabat publik yang terlibat akhirnya diganjar hukuman. Hingga Oktober 2018, setidaknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menjerat 100 kelapa daerah, sejak lembaga anti rasuah ini berdiri (detik.com/25 Oktober 2018). Belum lagi pejabat publik yang kasus korupsinya ditangani oleh lembaga lain, seperti kejaksaan, kepolisian, maupun Satgas Saber Pungli.
Keberadaan Satgas Saber Pungli pun, baik di pusat dan daerah juga tak kalah gencar melakukan perlawan terhadap praktik korupsi khusunya pungutan liar. Berdasarkan data dari Ketua Pokja Pencegahan Satgas Saber Pungli Pusat, Asep Kurnia, ada 33.100 laporan kasus pungutan liar secara nasional, terhitung sejak 28 Oktober 2016 sampai 6 November 2017. Dalam kurun waktu itu, sebanyak 2.435 orang ditetapkan sebagai tersangka dan saber pungli melakukan 1.206 OTT (operasi tangkap tangan).
Dalam laporan itu, ada lima instansi yang paling banyak mendapat laporan pungutan liar. Lima instansi itu adalah Kemendikbud, kepolisian, Kemenhub, Kemenkes, dan Kemenkumham. Ada pun daerah yang paling sering melaporkan pungutan liar, adalah Jawa Barat, Jakarta, Sumatera Utara, Jawa Timur, Banten, dan Lampung.
Sementara itu di DIY, data Satgas Saber Pungli DIY hingga tahun 2017, lembaga ini mengaku telah mendapatkan 33 aduan kasus pungli. Dalam kurun waktu itu juga, Satgas Saber Pungli juga telah melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) sebanyak 7 kali. Dari puluhan penganduan tersebut, ada dua instansi yang paling banyak mendapatkan pengaduan. Dua instansi itu adalah lembaga pendidikan dan pertanahan (liputan6.com/10 November 2017).
Praktik korupsi maupun pungli didalamnya, kemudian makin memperburuk wajah birokrasi di Indonesia.Salah satu imej negatif yang berkembang di masyarakat adalah pelayanan publik lekat dengan praktik pungli. Hal ini sejalan dengan pendapat yang disampaikan William A Niskanen. Sementara itu, menurut Agus Dwiyanto (2002:2), meluasnya praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) dalam kehidupan birokrasi publik semakin mencoreng imej masyarakat terhadap lembaga publik.
KKN termasuk pungli di dalamnya tidak hanya membuat pelayanan publik menjadi amat sulit dinikmati secara wajar oleh masyarakat, tetapi juga membuat masyarakat harus membayar lebiih mahal. Misalkan dalam pelayanan pembuatan KTP, pembuatan SIM, pengurusan sertipikat tanah, pelayanan pendidikan, hingga pembayaran retribusi parkir yang dikelola lembaga publik. KKN termasuk pungli diyakini oleh publik menjadi menjadi sumber dari bureaucratic costs dan distorsi dalam mekanisme pasar seperti praktik monopoli dan oligopoli yang sangat merugikan kepentingan publik.
Nah, dalam tulisan ini akan membahas faktor-faktor mengapa korupsi tumbuh subur dalam lembaga publik. Dalan karya tulis ini juga akan memberikan masukan terkait strategi yang bisa dilakukan Satgat Saber Pungli dalam mencegah praktik pungli sekaligus menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih di DIY.
Landasan Teori
Banyak istilah lain yang sering dipergunakan oleh masyarakat mengenai arti kata pungli seperti uang sogok, uang pelicin, uang semir, salam tempel, uang siluman, uang jasa, uang titip, Undang-Undang 2000, ongkos administrasi, uang ikhlas, 3.S (Senang Sama Senang) dan lain sebagainya (Soedjono D, 1983 :36). Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, pungutan liar didefinisikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan pegawai negeri atau penyelenggaran negara dengan maksud yang menguntungkan diri sendiri atau dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksakan seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Pasal-pasal yang terkait dengan pungutan liar yang kemudian diakomodir dalam menyusun Undang-Undang No.31 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No 20 Tahun 2001, dalam pasal penerimaan hadiah (gratifikasi) , sebagai berikut: Pasal 12 huruf e, Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri; Pasal 12 huruf f, Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang; Pasal 12 huruf g, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolaholah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.
Dengan begitu, secara umum, pungli juga dipahami sebagai pungutan tidak resmi, permintaan, penerimaan segala pembayaran , hadiah atau keuntungan lainnya, secara langsung atau tidak langsung, oleh pejabat publik atau petugas yang dipekerjakan oleh pemerintah atau publik dengan maksud untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tugas yang menjadi kewajibannya menurut ketentuan peraturan perundangan.
Sementara itu, secara teori, tata pemerintahan yang bersih berada dalam konsep pemerintahan yang baik atau good governance. Konsep good governance merupakan paradigm pengelolaan pemerintahan, dimana dalam pengelolaannya menekankan pada soal akuntabilitas, transparansi dan efisiensi.
Dalam konsep Good Governanace mendorong kesejajaran, kesamaan, dan keseimbangan, antara pemerintah (government), rakyat (citizen) dan usahawan/swasta (business) (Taschereau dan Campos, 1997 ; UNDP, 1997). Sementara itu, Lembaga Administrasi Negara (2000) memberikan pengertian Good governance yaitu penyelenggaraan pemerintah negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efesien dan efektif, dengan menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta, dan masyarakat.
Dalam konsep good governance memiliki beberapa prinsip. Yakni :
1. Partisipasi (Participation): Setiap orang atau warga masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing.
2. Akuntabilitas (accountability): Para pengambil keputusan dalam sektor publik, swasta dan masyarakat madani memiliki pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada publik, sebagaimana halnya kepada stakeholders.
3. Aturan hukum (rule of law): Kerangka aturan hukum dan perundang-undangan harus berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh, terutama aturan hukum tentang hak azasi manusia.
4. Transparansi (transparency): Transparansi harus dibangun dalam rangka kebebasan aliran informasi. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor.
5. Daya tangkap (responsiveness): Setiap intuisi dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders).
6. Berorientasi konsensus (consensus Orientation): Pemerintah yang baik akan bertindak sebagai penengah bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak, dan berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah.
7. Berkeadilan (equity): Pemerintah yang baik akan memberikan kesempatan yang baik terhadap laki-laki maupun perempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
8. Efektifitas dan Efisiensi (effectifitas and effeciency): Setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya dengan berbagai sumber yang tersedia.
9. Visi Strategis (strategic Vision): Para pemimpin dan masyarakat memiliki persfektif yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintah yang baik dan pembangunan manusia, bersamaan dengan dirasakannya.
Pembahasan
Penguatan Fungsi Pencegahan
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar, lembaga ini memiliki tugas melaksanakan pemberantasan pungutan liar secara efektif dan efisien dengan mengoptimalkan pemanfaatan personil, satuan kerja, dan sarana prasarana, baik yang berada di kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah.
Keberadaan Satgas Saber Pungli DIY tentu juga mengacu pada Perpres tersebut. Masih dalam Perpres tersebut, lembaga ini memiliki empat fungsi, yakni intelijen, pencegahan, penindakan, dan yustisi. Kendati begitu tak bisa dipungkiri, keberadaan Saber Pungli di pusat maupun di daerah, peran yang lebih menonjol adalah penindakan atau Operasi Tangkap Tangan (OTT). Padahal, fungsi yang tak kalah penting yang dijalankan lembaga ini adalah pencegahan pungli atau korupsi.
Nah, dalam pembahasan ini lembaga ini didorong untuk lebih banyak melakukan fungsi atau peran pencegahan pungli sehingga kemudian berdampak pada terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik di DIY. Dalam fungsi pencegahan ini sebelumnya harus memahami penyebab korupsi atau pungli dan bagaimana penanganannya.
Dalam Teori Pertukaran (exchange theory), konsep ini digunakan analis ekonomi politik untuk memahami dan menjelaskan perilaku birokrat maupun politisi. Argumen dasar teori pertukaran adalah imbalan (reward) merupakan variabel penting bagi birokrat maupun politikus saat berinteraksi. Dalam berinteraksi, motif para birokrat maupun politisi karena didorong harapan mendapat keuntungan (uang, informasi, otoritas, barang dan jasa). Jika tidak melibatkan ‘sogokan’ maka mereka tidak bisa bekerja.
Sementara itu, James Scott menjelaskan ada dua faktor penyebab korupsi (pungli) di negara berkembang, termasuk Indonesia di dalamnya. Dua faktor itu adalah budaya (kultral) dan struktural. Faktor kultural berupa tradisi pemberian hadiah atau upeti pada pejabat. Pemberian hadiah dianggap sebagai hal yang wajar di tengah-tengah masyarakat. Hal lain dalam faktor kultural ini adalah pentingnya ikatan keluarga.
Sementara faktor struktural terkait dengan domonasi birokrasi yang kuat hingga adanya upaya mengkerdilkan kekuatan lain di masyarakat oleh Negara. Sedangkan untuk mencegah praktik korupsi termasuk pungli yang dilakukan oleh pejabat maupun aparatur birokasi, bisa dilakukan dengan tiga cara. Tiga cara itu adalah mendorong penggunaan IT (e-gov) dalam pelayanan publik, mendorong terciptanya Civil Society Organization (CSO) yang mandiri dan independen, serta strategi politik keterwakilan.
5 Strategi Mendorong Tata Kelola Pemerintahan Bersih
Setelah penjelasan soal penyebab dan cara menanggulangi korupsi dan pungli dalam tubuh lembaga publik, kemudian dalam uraian ini akan dijelaskan strategi yang bisa dilakukan oleh Tim Saber Pungli DIY untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih. Strategi itu adalah :
-
Edukasi dan Sosialisasi
Dalam langkah ini, Satgas Saber Pungli DIY mengambil bagian dalam mengedukasi pihak terkait yang berpotensi melakukan pungli. Dalam hal ini, pihak terkait itu adalah lembaga maupun aparat birokrasi maupun publik itu sendiri. Dalam edukasi ini dijelaskan bagaimana soal pungli adalah bagian korupsi dan melanggar hukum.
Untuk menanamkan anti pungli sejak dini, Satgas Saber Pungli harus masuk ke lingkungan sekolah untuk mengkampanyekan anti pungli kepada para pelajar di DIY. Selain soal kampanye anti pungli, dalam edukasi ini juga dijelaskan soal prinsip-prinsip pelayanan publik yang transparan dan akuntabel. Dengan begitu, pelayanan publik maupun tata kelola pemerintahan di DIY akan semakin baik.
-
Menguatkan Sinergitas Antar Lembaga
Umumnya, ‘penyakit’ lembaga publik di Indonesia adalah sulit bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain. Antar lembaga terkesan saling over laping dan ego sektoral. Hal ini harus dihindari. Lembaga yang terkait harus meningkatkan sinergitas. Sinergitas yang dimaksud di sini adalah secara internal maupun eksternal. Secara internal, harus diperkuat hubungan instansi-instansi yang tergabung dalam Satgas Saber Pungli. Yakni, kejaksaan (Kejati), kepolisian (Polda), inspektorat DIY maupun pemerintah daerah (Pemprov DIY).
Pihak-pihak internal tersebut harus kompak dalam bekerjasama menjalankan tugas dan fungsi Satgas Saber Pungli. Sementara itu sinergitas ekternal adalah, Satgas Saber Pungli DIY harus menjalin kerjasama dan sinergis dengan lembaga-lembaga yang terkait dengan pengawasan pelayanan publik maupun lembaga yang mendorong transparansi birokrasi. Lembaga yang dimaksud antara lain Perwakillan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) DIY, Lembaga Ombudsman Daerah (LOD), maupun Komisi Informasi Publik (KIP) DIY.
-
Mendorong Transparansi Lembaga Publik Lewat Penggunaan TI
Dalam upaya pencegahan pungli ini, Satgas Saber Pungli juga bisa dilakukan dengan mendorong penggunaan teknologi informasi (TI) dalam pelayanan publik di lingkungan Pemrov DIY. Seperti diketahui, penggunaan TI dalam pelayanan publik (e-gov) diyakini bisa meningkatkan transparansi dan juga mencegah praktik korupsi maupun pungli. Selain bisa mencegah pungli, penerapan e-gov secara masif, akan membuat tata kelola pemerintahan di DIY makin bersih.
-
Mendorong Akuntabiltas Lembaga Publik
Akuntabilitas lembaga publik di DIY harus terus didorong untuk ditingkatkan. Setiap kebijakan yang diambil oleh pejabat publik harus bisa dipertanggungjawabkan pada masyarakat. Sebab pada prinsipnya, aparatur birokrasi bekerja untuk melayani masyarakat, bukan sebagai pelayan penguasa. Dengan begitu, Satgas Saber Pungli DIY semestinya ikut terus mendorong peningkatan akuntabiltas lembaga publik yang ada di daerah.
-
Menggandeng CSO, Pers dan Perguruan Tinggi untuk Menguatkan Fungsi Pengawasan
Dalam pemberantasan pungli, Satgas tidak bisa melaksanakan sendiri. Satgas harus menggandeng pihak-pihak yang konsen terhadap pengawasan atau monitoring lembaga publik untuk ikut terlibat dalam pencegahan pungli. Pihak-pihak itu antara lain kalangan Civil Society Organization (CSO), Pers dan perguruan tinggi yang menjamur di DIY. Kalangan CSO (LSM), Pers maupun perguruan tinggi harus didorong mandiri tanpa diintervensi. Dengan begitu, mereka bisa menjalankan fungsi-fungsi pengawasan terhadap organisasi publik, termasuk di dalamnya pencegahan praktik pungli di lingkungan Pemprov maupun instansi vertikal (BPN, Kemenag) yang ada di DIY.
Kesimpulan
Praktik korupsi maupun pungli menjadi problem serius yang dihadapi bangsa ini. Untuk itu diharapkan Satgas Saber Pungli DIY makin berperan dalam upaya memberantas praktik pungli di lembaga publik yang ada di daerah. Melalui fungsi pencegahan yang efektif, diharapkan Satgas bisa mereduksi praktik pungli. Pemberantasan praktik pungli diharapkan berujung pada terciptanya tata kelola pemerintahan yang bersih di DIY.
- artikel ini merupakan peserta Lomba Penulisan anti pungli 2019 yang diselengarakan oleh Satgas Saber Pungli DIY
Comments