STARJOGJA.COM, Info – Presiden RI ketiga Bacharuddin Jusuf Habibie meninggal dunia pada hari Rabu (11/9/2019) pukul 18.03 WIB di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta. B.J. Habibie lahir di Parepare, Sulawesi Selatan, dari ayah Alwi Abdul Jalil Habibie, petani yang berasal dari Gorontalo, dan ibu ningrat dari Yogyakarta, R. A. Tuti Marini Puspowardojo.
Keluarga Habibie berasal dari Kabila, desa di bagian timur Provinsi Gorontalo. Habibie anak keempat dari delapan bersaudara. Orang tuanya bertemu saat belajar di Bogor, Jawa barat. Ayah Habibie meninggal ketika dia berusia 14 tahun.
B.J. Habibie pergi ke Delft, Belanda, untuk belajar penerbangan dan kedirgantaraan di Technische Hogeschool Delft (Universitas Teknologi Delft), tetapi karena alasan politik yakni sengketa Papua Barat antara Belanda dan Indonesia, ia harus melanjutkan studinya di Technische Hochschule Aachen (RWTH Aachen University) di Aachen, Jerman.
Baca Juga : Duka Cita Meninggalnya BJ Habibie
Pada 1960, B.J. Habibie menerima gelar insinyur di Jerman dengan gelar Diplom-Ingenieur. Dia tetap di Jerman sebagai asisten peneliti di bawah Hans Ebner di Lehrstuhl und Institut für Leichtbau, RWTH Aachen, untuk melakukan penelitian untuk gelar doktornya.
Pada 1962, Habibie kembali ke Indonesia selama 3 bulan dengan cuti sakit. Saat itu dia berkenalan kembali dengan Hasri Ainun, putri R. Mohamad Besari.
Habibie mengenal Hasri Ainun semasa kecil, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas di SMA Kristen Dago, Bandung.
Keduanya menikah pada 12 Mei 1962 lantas segera kembali ke Jerman. Habibie dan istrinya menetap di Aachen untuk waktu yang singkat sebelum pindah ke Oberforstbach. Pada Mei 1963 mereka memiliki seorang putra, Ilham Akbar Habibie.
Ketika gaji minimum Habibie memaksanya bekerja paruh waktu, dia mendapatkan pekerjaan di perusahaan saham kereta Waggonfabrik Talbot sebagai penasihat. Habibie bekerja pada dua proyek yang menerima dana dari Deutsche Bundesbahn.
Pada 1965, Habibie menyampaikan tesisnya di bidang teknik kedirgantaraan dan menerima nilai “sangat baik” untuk disertasinya, memberinya gelar Doktoringenieur (Dr.-Ing.).
Pada tahun yang sama, dia menerima tawaran Hans Ebner untuk melanjutkan penelitian tentang Thermoelastisitas, tetapi dia menolak tawaran untuk bergabung dengan RWTH.
Tesisnya tentang konstruksi ringan untuk negara bagian supersonik atau hipersonik juga menarik tawaran pekerjaan dari perusahaan seperti Boeing dan Airbus, yang ditolak Habibie lagi.
Habibie akhirnya menerima tawaran Messerschmitt-Bölkow-Blohm di Hamburg. Di sana, dia mengembangkan teori tentang termodinamika, konstruksi, dan aerodinamika yang dikenal sebagai Habibie Factor, Habibie Theorem, dan Habibie Method.
Dia bekerja untuk Messerschmitt pada pengembangan pesawat Airbus A-300B. Pada 1974, dia dipromosikan menjadi wakil presiden perusahaan.
Kembali ke Indonesia
Meski menerima pekerjaan untuk pengembangan Airbus, itu tak berlangsung lama, karena pada 1974 itu pula, Presiden Soeharto memanggil Habibie untuk kembali ke Indonesia sebagai bagian dari upaya melakukan industrialisasi dan membangun negara.
Habibie awalnya menjabat sebagai asisten khusus untuk Ibnu Sutowo, CEO perusahaan minyak negara Pertamina. Berselang 2 tahun kemudian, pada 1976, Habibie diangkat menjadi Chief Executive Officer dari perusahaan baru milik negara Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN).
Pada 1985, PT Nurtanio mengubah namanya menjadi Industri Penerbangan Indonesia dan sekarang dikenal sebagai Dirgantara Indonesia.
Pada 1978, Habibie diangkat sebagai Menteri Riset dan Teknologi. Dia terus memainkan peran penting dalam industri strategis IPTN lainnya di pos ini.
Pada 1980-an, IPTN tumbuh pesat, mengkhususkan diri dalam pembuatan helikopter dan pesawat penumpang kecil. Pada 1991, Habibie mengawasi 10 industri milik negara termasuk pembangunan kapal dan kereta, baja, senjata, komunikasi, dan energi.
B.J. Habibie menjadi pilot, dibantu dalam pelatihannya oleh A.B. Wolff, mantan kepala staf Angkatan Udara Belanda. Pada 1995, dia menerbangkan pesawat komuter N-250 yang dinamai Gatotkoco.
Dalam mengembangkan industri penerbangan Indonesia, ia mengadopsi pendekatan yang disebut “Mulai di Akhir dan Akhir di Awal”. Dalam metode ini, elemen-elemen seperti penelitian dasar menjadi hal terakhir yang menjadi fokus, sementara pembuatan pesawat yang sebenarnya ditempatkan sebagai tujuan pertama.
Di bawah kepemimpinan Habibie, IPTN menjadi produsen pesawat termasuk helikopter Puma dan pesawat CASA. Ini memelopori sebuah pesawat penumpang kecil, N-250 Gatokaca, pada 1995, tetapi sayangnya proyek itu gagal secara komersial.
Pada perjalanannya kemudian, Habibie menjadi Wakil Presiden RI dan selanjutnya menggantikan Presiden Soeharto, naik dari posisi wakil presiden RI setelah pada 21 Mei 1998.
Indonesia telah kehilangan salah satu putra terbaik sepanjang sejarah bangsa ini. Selamat jalan Pak Habibir, dengan iringan doa segenap kami yang berduka.
Sumber : Bisnis
Comments