STARJOGJA.COM, NUSANTARA – Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menunda pengesahan Rancangan Undang-undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat.
Presiden Jokowi mengatakan dirinya telah mencermati dan mengikuti seluruh perkembangan pembahasan RUU KUHP secara saksama.
“Untuk itu saya telah memerintahkan Menkumham sebagai wakil pemerintah untuk menyampaikan sikap ini kepada DPR RI yaitu agar pengesahan RUU KUHP ditunda,” katanya, dikutip dari Bisnis.com, Jum’at (20/9/2019).
Baca juga : Ahmad Syafii Maarif Temui Jokowi Soal Kabinet
Presiden Jokowi meminta kepada pimpinan DPR dan seluruh anggota parlemen untuk tidak melakukan pengesahan RUU itu pada periode saat ini yang akan berakhir pada awal Oktober 2019.
“Saya berharap DPR juga mempunyai sikap yang sama sehingga pembahasan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bisa dilakukan oleh DPR RI periode berikutnya,” katanya.
RUU ini telah disetujui Komisi III DPR pada Rabu (18/9/2019) untuk disahkan menjadi UU pada Rapat Paripurna DPR RI. Sejak mulai dibahas pada 2015, banyak isu krusial dalam RUU ini yang memakan waktu pembahasannya.
Presiden meminta Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H. Laoly menjaring masukan dari kalangan masyarakat sebagai bahan menyempurnakan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang ada.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) telah disusun pemerintah cukup lama, hampir 50 tahun. Landasan ini dimaksudkan untuk mengganti dan memperbaiki KUHP yang berlaku di Indonesia sampai sekarang
Selama ini, Indonesia menggunakan KUHP produk eks negara penjajah, yaitu Belanda. Namanya Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie. Disahkan tahun 1815 dan mulai berlaku sejak 1 Januari 1918. Setelah kemerdekaan, KUHP lama tetap berlaku disertai penyelarasan kondisi berupa pencabutan pasal-pasal yang tidak lagi relevan.
Kemudian pemerintah merasa penting agar negeri ini punya KUHP sendiri. Padahal, di Belanda sendiri KUHP dibuatnya sudah tidak berlaku karena dianggap usang.
Sepanjang pembahan dalam empat tahun terakhir, RKUHP terganjal dengan pasal-pasal yang dianggap merugikan rakyat dan menguntungkan pemerintah.
Contohnya tentang penghinaan presiden. Berdasarkan RKUH yang diterima Bisnis.com versi 15 September lalu, Pasal 218 ayat 1 menyebutkan bahwa setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Di situ dijelaskan yang dimaksud dengan menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri adalah penghinaan yang menyerang nama baik atau harga diri presiden atau wakil presiden di muka umum, termasuk menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah.
Akan tetapi pasal 218 ayat 2 menegaskan bahwa bukan merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat apabila perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Nah, untuk mencegah kesewenang-wenangan negara, penghinaan presiden bukan delik biasa. Pasal ini dikategorikan sebagai delik aduan. Pengaduan itu hanya dapat dilakukan oleh presiden atau wakil presiden yang juga bisa diwakili kuasa hukumnya.
Lalu pasal 341 tertulis seseorang yang menganiaya atau berhubungan seksual dengan hewan dapat dipidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Kategori II
Ini tentu disambut baik pecinta satwa. Direktur Investigasi Scorpion Wildlife Monitoring Group, Marison Guciano mengatakan bahwa dua perbuatan tersebut merupakan kejahatan kepada hewan. Baginya, itu adalah kelainan jiwa.
“Hukuman 1 tahun penjara masih terlalu ringan karena undang-undang kita terhadap sanksi pidana kepada pelaku dan penyiksaan terhadap hewan itu memang masih sangat lemah. Misalnya penyiksaan terhadap hewan itu,” katanya saat dihubungi, Kamis (19/9/2019).
Kemudian yang dianggap membungkam kebebasan pers dalam mengabarkan peristiwa pada Pasal 281. tertulis di situ, seseorang dapat dipidana paling banyak kategori II, apabila saat sidang pengadilan berlangsung tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan. Ini tertera poin a.
Poin b tertera bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas hakim dalam sidang pengadilan. Poin c tanpa izin pengadilan merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan proses persidangan.
Pasal tersebut disanggah Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Arsul Sani. Dia memastikan pasal 281 tidak akan menggembosi kinerja penyebar berita.
Arsul menjelaskan bahwa huruf c dimaksudkan untuk sidang yang disepakati tertutup atau hakim memerintahkan untuk tidak diperbolehkan untuk dipublikasi.
“Jadi kalau itu merupakan persidangan terbuka, ya maka tidak ada halangan bagi media untuk mempublikasikannya, mencatatnya dan lain sebagainya,” jelasnya.
Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung, Suhadi mengatakan bahwa sangat menanti-nanti pengesahan KUHP. Bagaimanapun juga yang menerapkannya adalah pihaknya, baik itu penyidik, penuntut umum dan hakim di persidangan.
Oleh karena itu dengan adanya kodifikasi KUHP, ini akan sangat memudahkan hakim dalam melaksanakan tugas. Alasannya selama ini dakwaan itu pasalnya saling tumpang tindih.
“Dengan adanya kodifikasi ini akan memudahkan hakim dalam menerapkan ketentuan materi hukum pidana itu sndriri,” jelasnya.
RKUHP kini sudah rampung. Agenda selanjutnya adalah mengesahkannya di rapat paripurna DPR yang direncanakan pada 24 September. Setelah itu presiden menandatangani untuk dijadikan KUHP baru.
Sumber : Bisnis.com
Comments