STARJOGJA.COM, Info – Turunnya harga minyak dunia membuat permintaan kepada BUMN Pertamina untuk menurunkan harga BBM. Namun, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan kondisi ini tidak segampang dan seindah yang terlihat, karena jika kondisi seperti saat ini dibiarkan maka Pertamina berpotensi merugi.
“Pertamina berpotensi akan kontraksi keuangan disana, bagi konsumen seneng saja bisa beli murah, tapi jualannya Pertamina keuntungan dari minyak mentah, tapi harga minyak mentah turun maka potensi alami kerugian. Harapannya dapat keuntungan dari sisi hilir karena penugasan, PSO maka semakin suram,” katanya saat Ngobrol Santai Bareng Pertamina di Jogja Jumat (13/3/2020).
Menurutnya harga minyak tinggi maupun turun tetap sama saja bagi Pertamina sebagai BUMN berpotensi merugi. Hal ini karena kondisi di hulu dan hilir tidak sebanding lurus karena keuntungan terbesar Pertamina dari hulu.
Baca juga : Pertamina Turunkan Harga BBM, Ini Rinciannya
“Pertamina ini pendapatan 75-80 dari hilir tapi keuntungan dari Hulu. Hulu kegiatan minyak dan gas yang memproduksi minyak dan gas mereka cari minyak mentah dan diproduksikan itu di Hulu. Ketika dibawa ke kilang itu namanya hilir bisnis pertamina dari hulu hingga hilir,”katanya.
Komaidi mengatakan di hilir Pertamina mengalami keuangan berdarah-darah dan kerugian luar biasa karena ada mandatari atau tugas dari pemerintah dengan PSO. Menurutnya bahan bakar premium di dalam Perpres 194 tahun 2014 itu produk penugasan bukan subsidi.
“Sekarang harga premium 6640 di International 7-8 ribu karena tidak diberi subsidi maka selisih itu adalah tanggung jawab pelaksana penugasan itu ya Pertamina. Misal 10 Milyar liter dikalikan selisih harga itu kerugian premium, belum satu harga, belum bisnis gas 3 kg,” katanya.
Komaidi kemudian menyebut UU 8 tahun 71 yang menyatakan Pertamina jadi agen pembangunan untuk mendistrisbusikan kebutuhan Migas ke masyarakat termasuk PSO atau Public Service Obligation. UU selanjutnya No 8 tahun 71 diganti tahun UU no 22 tahun 2001 dengan tugas yang masih melekat di Pertamina.
“Ini saya sebut Pertamina diperlakukan anak tiri padahal anak kandung. Tidak diperlakukan fair dari anak lain Shell, Total, Mobil Oil tidak ada penugasan tidak menanggung kerugian selisih itu sendiri,” katanya.
Perlakuan anak tiri menurut Komaidi karena Pertamina yang harusnya bisa untung dari bisnis Migas ini harus menanggung beban PSO Premium dan lainnya. Padahal, beban PSO itu juga bisa diberikan kepada selain Pertamina.
“Harusnya keuntungan dari hilir dari usaha ini bisa didapat, namun tidak bisa karena harus menutup selisih itu,” katanya.
Kondisi ini harus diubah dimulai dari pemerintah dan anggota dewan sebagai tindak political will yang baik bagi negara. Karena kondisinya menurut pengamat Migas ini harus segera berubah.
“Tahun 2020 ini bukan menakuti tapi lihat trend global pekerjaan berat yang menanti Pertamina karena 80 keuntungan itu tidak bisa diharapkan lagi di 2020 karena harganya turun. Harga mnyak di asumsikan di 63 US Dollar perbarel saat ini di angka 30 an,” katanya.
Terkait permintaan harga BBM turun menurut Komeidi harga BBM belum bisa langsung diturunkan. Penurunan minyak mentah memang turun namun rupiah saat ini juga turun yang membuat harga beli harga minyak semakin mahal.
“Nanti dulu kalo 100 persen diproduksi dialami negeri padahal saat ini di luar negeri. Konsumsi 1,6 juta perbarel perhari produksinya hanya 750. 750 itu bukan bagian negara hanya 60 persen karena 40 bagi hasil dengan pelaku lain yang jumlahnya puluhan. Total 750 kalo 60 persen ya sekitar 400 sementara kita harus impor 1,2 karena impor yang besar maka menentukan harga bbm maka nilai tukar rupiah menjadi sangat penting,” katanya.
Comments