STARJOGJA.COM, Info – Sepanjang trotoar jalan Kahar Muzakir, Terban, Kota Yogyakarta berderet-deret toko buku yang terlihat seperti gerbong kereta api. Tak tahu mana ekor dan kepalanya. Ramai orang mengunjunginya, sekedar untuk melihat atau membelinya. Rata-rata para mahasiswa yang meramaikan.
Sudah tidak asing lagi bahwa buku-buku yang dijual adalah buku yang tidak asli atau bajakan. Mataku menyelidik mencari pembantu si penjual untuk menanyakan beberapa hal. Sengaja aku tidak bertanya kepada penjual, sebab si penjual tengah sibuk melayani pembeli yang lain. Setelah beberapa saat mata bekerja, si pembantu itu kutemukan juga dengan mudah. Ia sedang duduk di tepi trotoar.
Terus terang, aku agak berhati-hati ketika mendekati dan mengajaknya bicara. Bahkan aku menyatakan maaf sebelum mengajukan pertanyaan-pertanyaan karena mungkin sekali pertanyaan-pertanyaanku dapat menyinggung perasaannya. Mengapa aku berprasangka seperti itu, bukan tanpa alasan. Pertanyaan-pertanyaan yang kuajukan adalah seputar buku-buku bajakan, penjualan dan pembuatannya. Namun setelah pertanyaan demi pertanyaan meluncur dari mulutku, aku merasa lega karena ia dengan suka rela menjawab dan tidak tersinggung sama sekali.
Baca juga : Ketemubuku Obral Buku Murah di Pandemi
Namanya samarannya Asep, berumur dua puluh lima tahun. Dia mengaku datang dan berasal dari Bekasi, Jawa Barat. Ia mengatakan telah dua tahun ikut bekerja dengan bosnya yang berasal dari Bekasi juga.
“Saya dan bos, bahkan kami penjual-penjual di sini sebenarnya mengerti bahwa buku bajakan itu tidak baik. Pertama melanggar moral, melanggar undang-undang dan melanggar yang lain-lain. Tapi gimana lagi, pembeli antusias, kok. Deretan toko-toko sini gak pernah sepi, jadi ya kita tetep lanjut menjual,” katanya.
Perasaan heran tentu ada, bahwa ternyata mereka para penjual mempunyai kesadaran terhadap paradoks dalam pekerjaannya. Akan tetapi apalah arti kesadaran jika hidup terus berjalan, lebih banyak harus dikerjakan dengan mabuk dan lupa.
Lebih lanjut soal sumber-sumber produksi buku dan cara distribusi keuangan pekerjaannya.
“Kita dapet buku-bukunya dari percetakan di Depok. Ntar dikirim kesini dan nggak tentu ngirimnya, tergantung pesanan. Kalo soal untung, ya nggak seberapa sebenernya. Kita cuma jual. Yang pasti untung itu, percetakan. Itu gede untungnya. Kita yang penjual gini, satu bulan kalo pembelinya biasa-biasa aja (nggak rame), dua sampe dua setengah jutaan kita bisa dapet,” terangnya.
Pertanyaan beralih ke soal izin dan harapan untuk ke depan. Akan bagaimanakah pekerjaannya itu.
“Kalo soal izin, memang pernah ada aparat yang main-main kesini. Tapi mereka bisa diajak temenan, Mbak. Jadi insyaallah lancarlah sini ini,” katanya.
“Terus soal harapan, aku sebenernya nggak naruh harapan apa-apa buat pekerjaan ini. Kita ngerti kok kalo kita ini nggak bener, makanya nggak mau berharap-harap. Kalo ada pesen, sebenernya sih cuma gini, buat orang-orang atau mahasiswa-mahasiswa yang banyak uang janganlah beli di kita-kita. Beli aja buku yang asli. Kita-kita di sini sebenernya ada buat orang-orang atau mahasiswa-mahasiswa yang duitnya kurang tapi pengen punya buku,” tutupnya.
Setelah perbincangan selesai, aku mengucapkan terima kasih dan pamit. Langkah kakiku kembali menyebrangi jalan dengan pandangan yang tak jelas. Masih terpikirkan, kalimat terakhir Kang Asep “ Hidup harus berani, Mbak. Kalau nggak gini, orang-orang kita nggak hidup.”
Penulis :Febryanti ds
Comments