STARJOGJA.COM, Info – Masyarakat Jogja tentunya sudah tidak asing lagi dengan Kampung Bugisan, yang kemudian menjadi nama jalan di sudut Kota Jogja. Namun sejarah Jalan Bugisan tidak hanya sekedar nama jalan, Bugisan diambil dari nama kesatuan prajurit di Keraton Yogyakarta yang terdiri dari orang-orang Suku Bugis.
“Bugisan ini memang pemukiman keturunan dari prajurit-prajurit Bugis dulu, Mbak. Tapi kalau sekarang, saya ini cuma kecipratan sedikit darah prajurit Bugis. Saya sudah keturunan keberapa puluh, saya tidak tahu. Pokoknya sudah jauh,” tutur Dewa, 24 tahun, warga Bugisan, Jumat (16/10/20).
Melihat jauh ke belakang, riwayat orang-orang Suku Bugis yang berstatus prajurit ini dapat ditarik dari peristiwa sejarah. Dikutip dari Keraton Jogja, mulanya, prajurit Bugis ini merupakan prajurit keraton Surakarta yang diutus oleh Raja Mangkunegoro I untuk mengawal Gusti Kanjeng Ratu Bendoro, putri kedua Sri Sultan Hamengkubuwono I. Hal itu disebabkan karena kehendak Raja Mangkunegoro I yang akan menceraikan dan memulangkan Gusti Kanjeng Ratu Bendoro ke KeratonYogyakarta.
Baca juga : Pasar Legi Patangpuluhan Sajikan Tarian
Bukan tanpa alasan, sang Raja memilih Prajurit Bugis untuk mengawal perjalanan pulang GKR Bendoro karena prajurit dari suku Bugis terkenal berani dan tangguh. Tak disangka-sangka sesampainya di Jogja keberanian dan ketangguhan Prajurit Bugis tidak dibutuhan karena Hamengkubuwono I menyambut dan menerima putri beserta rombongannya dengan sangat baik.
Oleh karena sikap Sri Sultan yang sangat menghargai Prajurit Bugis, mereka menjadi sangat nyaman berada di Yogyakarta. Sehingga mereka tergabung dalam kesatuan Prajurit Yogyakarta dengan nama Prajurit Bugisan. Namun, prajurit yang ada kini sudah tidak lagi terdiri dari orang-orang Bugis.
Prajurit Bugis dalam upacara Garebeg bertugas sebagai pengawal gunungan yang dibawa menuju Kepatihan. Panji-panji/bendera/klebet Prajurit Bugis adalah Wulan-dadari, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hitam, di tengahnya adalah lingkaran dengan warna kuning emas.
Wulan berarti bulan sedangkan Dadari berarti mekar, muncul timbul. Secara filosofis bermakna pasukan yang diharapkan selalu memberi penerangan dalam gelap. Ibarat berfungsi seperti munculnya bulan dalam malam yang gelap, cahayanya menggantikan matahari.
Senjata yang digunakan oleh seluruh Prajurit Bugis adalah tombak (waos). Tombak pusakanya bernama Kanjeng Kiai Trisula dengan bentuk ujung (dapur) yang juga dinamakan Trisula. Sedang pada saat iring-iringan prajurit Bugis tersebut, umumnya dibarengi dengan Gending Sandung Liwung.
“Saya sebenernya pengen ikut gabung jadi prajurit Bugisan, tapi ya itu mbak, prajurit Bugisan sekarang hanya keluar saat upacara-upacara kraton saja. Kalau prajurit Bugisan itu posisi atau stastusnya seperti TNI, mungkin saya langsung gabung ke sana mbak, hitung-hitung sebagai pewaris darah Bugis gitu,” tutupnya Dewa.
Kini meskipun Prajurit Bugis tidak seluruhnya berisi orang-orang Bugis asli, kesatuan prajurit tersebut masih bernama Prajurit Bugis dan tempat bermukim mereka dikenal dengan nama Kampung Bugisan.
Penulis : Febryanti ds
Comments