STARJOGJA.COM, Info – Di sisi kanan dan kiri jalan Prof. Dr. Sardjito, Yogyakarta terdapat puluhan kios penjahit saling berjejer dan saling berhadapan. Kios-kios tersebut sama-sama menawarkan jasa jahit.
Dimulai dari terbit matahari hingga malam mereka bekerja. Tak jarang, ada pula yang tak pulang. Mereka lebih memilih untuk bertahan disana. Tidur dan yang lainnya mereka lakukan di kios kecil berukuran kurang lebih 2×2 meter.
Berisi tumpukan kain dan baju juga celana para pelanggan. Seakan-akan mereka sedang menjaga anak untuk dipulangkan kepada orang tuanya.
Di sepanjang jalan itu merupakan jalan yang pendek, karena kedua ujungnya adalah lampu merah dan pertigaan. Di mana setiap hari dilanda kemacetan, membuat orang enggan berhenti sekedar bertanya berapa kisaran harga karena riuhnya jalanan.
Namun, siang ini langkahku menginginkan kesana. Terik Jogja yang sangat menyengat juga kemacetan yang menghambat tak membuatku surut.
Baca juga : Melalui Tas, Nayla Craft Merajut Erat JNE Wates
Kudapati beberapa penjahit sedang serius mengerjakan pekerjaannya, tak peduli akan suara bising yang berlalu lalang setiap detik. Bunyi klakson kendaraan yang menjengkelkan. Serta pembangungan proyek di belakang kios mereka yang suaranya mengganggu telinga.
Mereka tak memperdulikan adanya aku yang melewati kios mereka. Hampir kebingungan aku harus berhenti di mana. Namun, langkahku berhenti pada kios yang dijaga oleh bapak-bapak yang usianya sekitar diatas 30 tahun.
Aku tertarik karena ia sedang merokok dan tidak menjahit seperti kios lainnya. Mungkin karena sudah selesai atau entahlah.
Kebetulan sekali ia tak sedang bekerja, kudekati dan mengajaknya berbicara. Benar saja bapak tersebut usai melakukan ibadah sholat dhuhur dan makan siang. Makanya, ia membakar rokok yang ia punya sembari menunggu pelanggan yang hendak menggunakan jasanya.
“Tadi habis saya tinggal buat sholat, Mbak. Ngobrol sama tuhan biar dikasih pelanggan hari ini. Akhir-akhir ini lagi sepi. Ditambah ada Covid-19, biasanya kalau tahun ajar baru banyak banget yang jahitin seragam. Terus juga orang hajatan juga dikit yang bikin baju sendiri. Pokoknya sekarang itu lagi musim orang susah,” terangnya.
Kuberanikan lagi untuk bertanya perihal persaingan yang terjadi diantara puluhan kios,“Kalau persaingan sih saya sendiri nggak merasa seperti itu, karena di sini itu ada banyak keluarga saya yang profesinya sama juga. Itu jarak dua kios di samping saya adik saya. Sampingnya pas sepupu saya. Nah, yang seberang sana yang pake kaos merah paman saya. Jadi ya malah enak banyak keluarga disini, nggak merasa tersaingi karena rezeki kan udah ada yang ngatur. Dalam sehari itu bisa dapat 50 sampai 200 ribu, pokoknya nggak tentu” terangnya.
Jujur saja aku tersontak mendengar pengakuannya. Bagaimana tidak, satu keluarga mencari nafkah dalam satu tempat yang sama. Banyak di tempat lain terjadi hal seperti itu, tapi membuat keluarganya tidak harmonis karena dihantui oleh rasa iri.
“Kita saling bantu ajalah mbak satu sama lain, misalnya kalau lagi ada acara tinggal bilang aja suruh jaga kiosnya, aman pasti. Tapi sebenarnya ada aja tetangga yang iri sama rezeki yang didapat, tapi ya saya nggak ambil pusing, saya cuek aja,” tutupnya.
Penulis : Febryanti ds
Comments