STARJOGJA.COM, Info – Malam selepas Maghrib, di timur Pasar Beringharjo, Yogyakarta mulai ramai oleh orang-orang. Orang mengenalnya dengan nama Pasar Senthir, pasar yang berisi segala macam barang mulai dari barang baru-bekas, mahal-murah hingga baik dan rongsok.
Banyak barang yang bisa ditemukan di sini, seperti halnya peralatan dapur, barang elektronik, pakaian bekas, buku bekas, penjual makanan dan masih banyak lagi yang tak bisa disebutkan satu persatu.
Tak ada rentang usia yang menjadi rerata bagi para pembeli, semua umur, semua kalangan ikut meramaikan. Orang-orang yang berdatangan mengunjungi Pasar Senthir umumnya terlihat hanya untuk keperluan melihat-lihat. Sedang untuk urusan beli, orang-orang terlihat memerlukan proses yang panjang dengan hatinya sendiri.
Ditimpa remang cahaya yang berasal dari lampu berwarna kuning emas, perhatian tertuju pada orang-orang yang sedang mengunjungi lapak para penjual. Mereka saling pandang, saling berinteraksi. Hangat, begitu hangat interaksi antara penjual-pembeli itu.
Baca juga : Mengenal Pasar Senthir Jogja, Surga Barang Bekas
Entah apa sebabnya, aku melihat rasa kekeluargaan tercipta di antara mereka dan Pasar Senthir telah mampu mewadahi kehangatan tersebut.
Agak lama mataku disibukkan oleh pemandangan Pasar Senthir dan orang-orangnya, tiba-tiba telingaku disentuh oleh suara yang muncul dari toa milik pedagang.
“Es krim goreng…es krim goreng. Di jamin tidak akan membuat tenggorokan sakit. Sekali mencoba pasti ketagihan. Murah saja beli dua tak kasih harga lima ribu rupiah untuk mbak cantik dan mas ganteng,” suara toa itu yang ternyata berasal dari pedagang yang bernama Pak Gatot.
Sambil menjajakan dagangannya, mulutnya tak berhenti berbicara yang unik-unik yang berhasil menggelitik sehingga membuat pembeli berdatangan. Aku sendiri menyempatkan datang dan membeli. Sebetulnya ingin juga aku mengajukan pertanyaan-pertanyaan, tapi karena ramai pembeli terpaksa niat itupun urung.
Lepas dari lapak pak Gatot, kususuri kembali Pasar Senthir. Di pojok, aku melihat lapak buku yang sepi. Langkah pun menuju ke sana.
Wajahnya tidak bersedih meski sepi pelanggan. Ketika kulayangkan senyum padanya, penjual itupun membalas dan aku makin mendekat. Setelah berkenalan singkat, aku pun tahu, namanya Pak Slamet, berumur lebih dari setengah abad. Beliau mengaku berasal dari Wonogiri, tapi sudah lama tinggal di Yogyakarta.
“Saya sudah cukup lama mbak berjualan disini, kurang lebih delapan tahun. Buku-buku yang saya jual macam-macam. Ada buku pelajaran sekolah, buku sejarah, novel, majalah dan resep masakan. Kalo dapat buku, dapatnya dari pengepul. Ada juga yang dikasih sama orang, sama tetangga, seperti buku pelajaran sekolah ini, gratis jadinya,” ungkapnya sambil tertawa.
Setelah itu, beliau justru menyuguhi saya cerita, “Sebenarnya ini bukan pekerjaan utama saya waktu dulu mbak, dulu saya jualan soto keliling. Tapi dulu saya kena musibah, jadi udah gak bisa keliling jualan soto. Hasil jual buku ini gak seberapa mbak, malah sering semalaman gak dapet uang. Apalagi kalau musim hujan kayak gini, saya dan teman-teman lainnya gak jualan, sudah biasa,” ungkapnya sambil tertawa lagi.
“Orang kecil seperti saya dan teman-teman memang gak seharusnya banyak, moga-moga. Cuma ya satu aja, semoga Pasar Senthir semakin diminati banyak orang sehingga ada potensi dagangan saya dan teman-teman menjadi laku,” tuturnya.
Kemudian disaat aku hendak pamit, bapak ini berkata lagi, “Di Pasar Senthir ini mbak walau penghasilannya kecil, saya gak mau pindah dari sini. Karena hubungan sama pedagang lain itu erat sekali, seperti keluarga sendiri. Jadi apa-apa enak. Ada yang bantu. Seperti saudara, serius itu mbak,” sambil memberikan uang kembalian.
Aku pun tersenyum dan merasakan kebahagiaan dari kalimat-kalimatnya.
Ketika malam mulai larut, aku berjalan keluar dari kawasan Pasar Senthir. Sepanjang dan seluas kawasannya, ternyata Pasar Senthir menyuguhkan makna lain dari sekedar menjual dagangan.
Penulis : Febryanti ds
Comments