STARJOGJA.COM, JOGJA -Mengenali ciri penyakit hipertensi bukan perkara mudah. Untuk itu diagnosa paling mendekati bahwa terjangkit hipertensi adalah dengan melakukan pengecekan tekanan darah.
Hipertensi adalah penyakit yang berisiko tinggi. Selain tiba-tiba, penyakit ini berisiko tinggi merusak jantung para pengidapnya sehingga penyakit ini disebut juga sebagai silent killer.
Menurut Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia, pasien dinyatakan mengidap tekanan darah tinggi apabila tekanan darah sistolik (TDS) lebih dari 140 mmHg dan/atau Tekanan Darah Diastolik (TDD) lebih dari 90 mmHg dalam pengukuran di klinik maupun di rumah sakit.
Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia juga menganjurkan pentingnya mengecek tekanan darah secara rutin di rumah. Syaratnya, harus menggunakan ambulatory blood pressure monitoring (ABPM) atau home blood pressure monitoring (HBPM).
Profil pengukuran ABPM pun hendaknya dilihat dari pola tidur dan aktivitas pasien. Lantas, apa yang terjadi jika pasien tidak telaten dalam mengukur dan mengelola tekanan darahnya?
Dokter Spesialis Jantung Pembuluh Darah RS Jantung Harapan Kita, Dr. BRM Ario Soeryo Kuncoro, Sp.JP(K) menyatakan berdasarkan studi medis, sekitar 26 persen populasi dunia menderita hipertensi dan prevalensinya diperkirakan akan meningkat menjadi 29 persen pada 2025.
Di Indonesia, prevalensi hipertensi pada 2018 berdasarkan hasil pengukuran pada penduduk usia di atas 18 tahun sebesar 34,1 persen. Sedangkan angka kematian akibat hipertensi sebesar 427.218 kematian.
Hipertensi terjadi pada kelompok umur 31-44 tahun sebanyak 31,6 persen, umur 45-54 tahun sebanyak 45,3 persen, dan umur 55-64 tahun sebesar 55,2 persen. Artinya, meski berada dalam masa pandemi, para pasien tekanan darah harus bisa menjaga stabilitas kesehatan tekanan darah.
“Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan faktor risiko terhadap kerusakan organ penting seperti otak, jantung, ginjal, mata, pembuluh darah besar (aorta) dan pembuluh darah tepi. Salah satunya yang harus diwaspadai adalah terjadinya gagal jantung yang berujung pada kematian,” kata Ario, Jumat (20/11/2020).
Secara rinci, Ario menerangkan gagal jantung merupakan kondisi kronis yang disebabkan oleh hipertensi. Pasalnya, hipertensi menyebabkan pembuluh darah menyempit dan mengakibatkan beban kerja jantung bertambah berat.
Penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah membuat dinding ruang pompa jantung menebal dan dalam jangka panjang akan meningkatkan risiko gagal jantung. Untuk memompa darah melawan tekanan yang lebih tinggi di pembuluh, jantung harus bekerja lebih keras sehingga terjadi penyempitan arteri sehingga darah lebih sulit mengalir dengan lancar ke seluruh tubuh.
“Dengan demikian, hipertensi membuat kerja jantung menjadi berlebihan untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan oksigen dan nutrisi, namun kondisi jantung menjadi lebih sulit bekerja sehingga pada akhirnya jatuh ke kondisi gagal jantung,” jelasnya.
Comments