STARJOGJA.COM, Info – Warga Kedungrong, Desa Purwoharjo, Kecamatan Samigaluh, Kulonprogo rasa-rasanya tak begitu terpengaruh akan kabar-kabar seputar kelistrikan di Indonesia. Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) dengan tarif Rp12.000 per selapanan atau 35 hari mampu menerangi desa yang dahulu gelap minim lampu.
Sepintas tiada yang berbeda dari bangunan kecil di sempadan kali di Kedungrong. Berukuran hanya sekitar 3×3 meter dengan struktur bangunan yang sederhana, di dalamnya terdapat dua turbin penghasil listrik yang jadi tumpuan sumber daya listrik hampir sebagian warga Kedungrong.
Humas PLTMH Kedungrong Cahyono Adi Nugroho menuturkan dari 52 keluarga di Kedungrong, 50 menjadi pelanggan PLTMH. Harga yang murah dan daya yang bisa dibilang tanpa batasan, membuat listrik yang dihasilkan turbin-turbin air digunakan hampir semua kalangan.
Baca juga : Diskon Tarif Listrik Berakhir Juni 2021
“PLTMH mampu menghasilkan 8.000 KV. Sekarang yang menggunakan ada 50 keluarga. Pembangkit ini masih bisa dipakai 100 – 200 keluarga,” ujarnya pada Minggu (18/9/2022).
Di balik manfaatnya yang melimpah, PLTMH bermula dari kejadian pilu tanah longsor di Kedungrong. Kala itu Cahyo bertugas sebagai kepala posko bencana. Di momen itu datang seorang dosen Universitas Gadjah Mada yang meninjau lokasi longsor dan menyebut potensi aliran sungai yang dapat digunakan sebagai pembangkit listrik tenaga mikro hidro.
Saat ada reses dari DPRD Kulonprogo, wacana pembangunan PLTMH ini diusulkan. Namun hingga beberapa tahun, tidak ada tindak lanjut dari usulan tersebut. Lalu saat Cahyo menjadi salah satu anggota Dewan di 2004, baru lah ia tahu APBD Kulonprogo tidak mampu mengkover semua pembangunan PLTMH. Pembangunan PLTMH baru bisa terealisasi nekat bantuan BBWSSO di 2012.
Beroperasi sejak 2012, PLTMH Kedungrong telah menyala sampai saat ini. Dibangun awal dengan kisaran dana Rp270 juta, manfaat PLTMH Kedungrong masih dirasakan sampai sekarang.
Saking bermanfaatnya, desa-desa lain ingin ikut memakai listrik dari Kedungrong ini. Sayangnya, aliran politik butuh kabel dan tiang yang representatif untuk menjangkau wilayah-wilayah jauh tersebut. “Ada [wilayah lain yang kepengin], cuma terkendala tiang listriknya itu. Itu yang mahal,” ujarnya.
“Satu warga itu bayar Rp12.000, itu penggunaan unlimited [tanpa batas]. Seperti tempat saya itu ada empat pompa air, kemudian ada dua kulkas, ada dua mesin cuci, itu unlimited menggunakan mikro hidro itu, itu tetap hanya Rp12.000 saja,” tandasnya.
Tarif Rp12.000 saja, untuk penerangan jalan dipatok nominal Rp3000. Tarif listrik yang dibayarkan warga untuk listrik kebutuhan sehari-hari hanya Rp9.000 per selapanan.
Ada lebih 33 titik penerangan jalan di Kedungrong yang ditenagai listrik dari PLTMH. Dulu kondisi penerangan jalan di Kedungrong terhitung gelap. Paling hanya ada kurang dari 10 lampu menerangi jalan di Kedungrong. Namun dengan listrik yang murah dari PLTMH, setiap rumah warga bisa berkontribusi memasang lampu di depan rumah untuk penerangan jalan. Desa yang dulunya gelap, kini pun terang benderang.
Turbin dalam ruang PLTMH akan menyala terus selama 24 jam. Mesin hanya akan dimatikan sekali saat perawatan atau pembersihan sampah di saluran air yang mengarah ke mesin turbin.
PLTMH Kedungrong juga memberdayakan warga. Dua warga didapuk jadi teknisi PLTMH yang sebelumnya telah dikursuskan ke Bandung.
“Warga masyarakat sangat terbantu, karena sekarang warga masyarakat itu kan pemakaian PLN dan mikro hidro, untuk mikro hidronya sendiri 75 persen. Listrik PLN cuma untuk cadangan kalau pas mikro hidronya mati,” tuturnya.
Kekurangan PLTMH Kedungrong saat ini menurut Cahyo hanya pada aspek stabilizer. Alat ini berfungsi sebagai stabilisasi daya yang diproses oleh mesin-mesin PLTMH. Pasalnya saat ada sampah di saluran air, daya yang dihasilkan PLTMH akan tidak stabil lantaran gangguan sampah.
Aliran sungai juga menjadi motor penggerak utama turbin. Sebagian air kali diarahkan ke turbin di PLTMH, turbin yang bergerak selanjutnya diolah menjadi tenaga listrik untuk warga. Namun, jika aliran sungai surut, listrik di Kedungrong pun padam. “Dulu pernah dua bulan atau berapa itu ga bisa beroperasi karena ada perbaikan saluran irigasi,” ujarnya.
Widarto sang teknisi PLTMH tahu betul tugas membersihkan saluran air dari sampah untuk menjaga listrik di padukuhan tetap menyala dan tetap stabil. Bersama satu orang teknisi lainnya, setiap hari dirinya harus membersihkan sampah yang menutup aliran air yang mengarah ke penggerak turbin. Rata-rata satu karung sampah yang berisi plastik, rumput hingga ranting bisa ia kumpulkan setiap harinya.
“Sehari sekali membersihkan, kadang kalau musim penghujan itu bisa sehari dua kali membersihkan sampah. Malam pun kalau mati, tetap membersihkan saya, pakai senter langsung masuk ke sungai,” tuturnya.
Pernah paling malam, sekitar pukul 23.30 WIB Widarto membersihkan pintu air aliran ke PLTMH. Padahal setidaknya butuh waktu 30 menit membersihkan sampah-sampah yang menyangkut di pintu air PLTMH.
Malahan ia pernah sekitar pukul 01.00 WIB ke ruang teknisi karena mati listrik satu padukuhan. Setelah diperiksa tenyata ada sampah yang menghambat laju air, walhasil lagi-lagi Widarto harus nyemplung membersihkan saluran maupun di kincir turbin.
Bendahara PLTMH sekaligus warga Kedungrong, Rahmat Sutejo mengatakan selain mencukupi kebutuhan listrik sehari-hari, keberadaan PLTMH juga bisa mendorong industri kecil di Kedungrong. Usaha seperti bengkel, menjahit, hingga petukangan di Kedungrong bisa tumbuh.
Rahmat juga berpandangan bila keberadaan PLTMH juga bakal diminati para istri karena harganya yang terjangkau. Alat elektronik seperti setrika, rice cooker, bahkan mesin cuci bisa digunakan tanpa khawatir biaya yang membengkak.
Comments