STARJOGJA.COM, JOGJA – Yayasan Biennale Yogyakarta mempresentasikan karya dari belasan seniman dalam Pameran Asana Bina Seni 2023 bertajuk (Se)tempat.
Karen Hardini , Manajer Program Yayasan Biennale Yogyakarta menjelaskan Pameran yang berlangsung di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) mulai 9-19 Juni 2023 ini menjadi ruang apresiasi seniman muda dari Jogja maupun luar Jogja. Seniman muda yang terlibat sebanyak 15 orang, tujuh seniman kolektif, dan sembilan penulis atau kurator yang semuanya berasal dari lintas ilmu. Ada pelukis, fotografer, pematung, musikus, sejarawan, antropolog dan lainnya.
“Tahun ini mengusung tema “(Se)tempat”. “Se” dengan “Tempat”, lewat konfigurasi morfem ini, turut mengajak pembaca, penonton, panitia, semuanya, untuk memberi fokus pada dua hal sekaligus,” jelas Karen.
Pertama, pada penggalan “Tempat”. Karya seniman-seniman Asana Bina Seni 2023 banyak yang menjadikan tempat, secara harfiah, sebagai titik berangkat sekaligus medium yang direkayasa untuk menceritakan keresahannya. Kedua, tema ini patut dibaca secara utuh, “Setempat”, sebagai morfem yang identik dengan kata sifat.
Warga setempat, makanan setempat, adat setempat; contoh penggunaan “setempat” yang jamak dijumpai. Alih-alih terjebak makna keruangan yang sempit, setempat perlu diperluas hingga mencakup sebuah titik pijak mula-mula yang digunakan oleh seniman untuk membaca dan mengisahkan isu.
Pada pameran ini, para seniman banyak menjadikan tempat, secara harafiah, sebagai titik berangkat sekaligus medium untuk menceritakan keresahan masing-masing. Ada yang bercerita tempat sebagai kenangan masa kecil atau konstruksi sosial yang terbentuk oleh lingkungan sosialnya. Ada pula yang menyampaikan, melalui karya, tentang bukit-bukit batu untuk menjamah perkara pascakolonialisme.
Ia mengatakan proses kreatif sudah berlangsung sejak Februari 2023. Bermula dari undangan terbuka, para seniman muda mengikuti seleksi proposal. Setelah lolos, mereka mengikuti serangkaian kelas, mulai dari reguler, inkubasi, sampai studio visit.
“Asana Bina Seni menjadi laboratorium untuk seniman melihat-lihat kembali praktik penciptaan, agar tidak terjebak dengan anggapan bahwa seniman hanya mengandalkan insting atau imajinasi. Di era 1980 hingga 1990-an melukis cari inspirasi, tapi saya kira sekarang situasi berbeda, seniman diajak merespons lebih luas fenomena sosial dan sebagainya,” kata Karen.
Comments