“Penting bagi individu mengenali konflik yang terjadi. Konflik tidak selalu masalah dengan orang lain tetapi dengan diri sendiri juga, misalnya rasa nyeri, gangguan fungsi seksual,” kata dia di Jakarta, Jumat.
Gina menuturkan setelah seseorang mengenali ada masalah dalam dirinya, jujur, kemudian bukalah kesempatan untuk membicarakannya dengan pasangan. Dalam hal ini, dibutuhkan keterbukaan untuk saling memahami kondisi satu sama lain.
“Nah yang harus hati-hati membicarakan konflik itu tidak satu arah, enggak hanya bicara saja tetapi proses mendengarkan. Bagaimana kita bisa bicara kemudian saling mendengarkan dengan pasangan,” tutur dia.
Dia lalu mencontohkan, suami misalnya mengalami perubahan dalam kualitas ereksinya, yang mungkin tidak sekeras pada awal pernikahan. Dia dapat membicarakannya dengan sang istri dan dari sanalah kemudian terbuka kesempatan untuk bekerja sama guna saling menyesuaikan.
Menurut Gina, couple wellbeing sejatinya adalah kesejahteraan pasangan secara keseluruhan dalam sebuah hubungan romantik, sehingga terdapat kesehatan fisik dan mental yang baik dalam hubungan tersebut.
Sejumlah hal mulai dari nilai yang berbeda, tanggung jawab, kepribadian, keuangan, seks, komunikasi, kesehatan, serta masalah keluarga bisa menjadi pemicu konflik pada pasangan.
Tentunya pada suatu titik, sambung Gina, pasangan memerlukan bantuan profesional dalam menyelesaikan masalahnya, terutama apabila sudah terjadi konflik yang berkepanjangan, ketidakpuasan seksual, perasaan terjebak atau tidak bahagia, penurunan keintiman, perubahan drastik sifat, dan kejadian traumatis.
“Masalah patut diselesaikan dengan baik karena apabila hubungan pasangan terjalani dengan baik, akan terdapat kesejahteraan emosional, kualitas hidup yang baik, serta kesejahteraan seksual. Happy Couple, Happy Family, Happy Life,” demikian pesan dia.
Sumber : Antara
Comments