Pelepasan nyamuk ber-Wolbachia ini dilakukan dalam rangka penelitian pengendalian DBD dengan hasil yang menggembirakan. Teknologi nyamuk ber-Wolbachia terbukti efektif mengurangi 77% kasus DBD dan 86% rawat inap karena Dengue.
Penelitian yang awalnya bernama Eliminate Dengue Project (EDP) Yogya dan kemudian menjadi World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta ini sendiri telah memulai perjalanan sejak 12 tahun lalu, tepatnya di 2011.
Penitipan ember tersebut selanjutnya meluas ke wilayah intervensi penelitian Kota Yogyakarta pada awal 2017, dan melengkapi seluruh wilayah Kota Yogyakarta pada akhir 2020. Total tak kurang dari 11.200 ember yang dititipkan kepada orang tua asuh (OTA) nyamuk di seluruh Kota Yogyakarta. Hingga kini, persentase nyamuk yang dapat menghambat penularan virus dengue tersebut stabil tinggi di seluruh wilayah Kota Yogyakarta.
Dalam konferensi pers ini, Prof. Adi Utarini atau Prof. Uut menyampaikan apresiasinya kepada Pemerintah Kota Yogyakarta, yang pada kesempatan saat ini diwakili oleh Dinas Kesehatan dan perwakilan tokoh kota, yang telah mengambil keputusan penting dengan melakukan transformasi kesehatan, kaitannya dengan pengendalian DBD menggunakan inovasi nyamuk ber-Wolbachia
.
“Per Oktober 2023 ini, terdapat 67 kejadian DBD di Kota Yogyakarta,” jelas dr. Lana Unwanah, Kepala Bidang Pencegahan Pengendalian Penyakit Dan Pengelolaan Data Dan Sistem Informasi Kesehatan, Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta.
Angka ini merupakan yang terendah selama sepuluh tahun terakhir ini, mengingat siklus 5 tahunan kejadian DBD Kota Yogya terjadi di 2010, dan selanjutnya 2016. Lebih lanjut Lana meyakini, selain dari upaya masyarakat dengan program PS dan gerakan PHBS, Wolbachia menjadi teknologi yang melengkapi usaha pengendalian DBD yang efektif menurunkan angka kasus di Kota Yogyakarta.
“Berkat penurunan kasus yang sangat signifikan ini, alokasi dana fogging pun hanya terealisasi sebagian saja, bahkan hanya sebagian kecil saja. Sebut saja sepanjang 2023 ini, baru dilakukan 9 kali fogging. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan pada periode sebelum nyamuk Aedes aegypti ber Wolbachia dilepaskan. Pada tahun 2016, fogging dilakukan sebanyak lebih dari 200 Kali dan pada 2017 fogging dilakukan lebih dari 50 kali. Ada sejumlah anggaran yang signifikan yang bisa kami alokasikan ke penanganan penyakit lainnya,” ujar Lana.
“Teknologi nyamuk ber-Wolbachia merupakan teknologi yang sangat potensial sebagai strategi pelengkap untuk pengendalian DBD,” jelas dr. Riris Andono Ahmad, Peneliti Pendamping WMP Yogyakarta.
Selain di laboratorium, peneliti juga berjuang keras di lapangan. Pelepasan nyamuk ber-Wolbachia di habitat alaminya mutlak membutuhkan persetujuan masyarakat. Sosialisasi yang memadai tak hanya dilakukan di tengah masyarakat, namun juga mengajak para pemangku kepentingan untuk berkunjung ke laboratorium.
“Ini bukan penelitian sembarangan. Kami jadi saksi kesungguhan penelitian ini di laboratorium,” jelas Totok Pratopo, tokoh masyarakat yang tinggal di bantaran Sungai Code. Setelah yakin dengan penelitian ini, pria yang juga menjabat sebagai Ketua Komunitas Pamerti Code ini turut membantu para peneliti dalam meyakinkan
masyarakat.
Bagi Totok meyakinkan masyarakat di awal penuh tantangan. Bagaimana tidak, selama ini masyarakat meyakini bahwa nyamuk penyebab DBD.
Pada studi kali ini, 13 perawat peneliti ditugaskan di 13 Puskesmas di Kota Yogyakarta untuk merekrut pasien demam dan mengambil darah mereka secara sukarela.
Para peneliti berharap hasil studi dampak implementasi Wolbachia dan beberapa hasil penelitian pendukung lainnya makin memantapkan teknologi Wolbachia sebagai strategi pelengkap dalam program pengendalian DBD di Indonesia.
Comments