Donnie yang merupakan Direktur Pusat Kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada (UGM) sudah 12 tahun melakukan aktivitas bloodfeeding alias memberi makan sekawanan nyamuk pembawa bakteri Wolbachia itu.
Dia tak sendiri. Para peneliti lain di Pusat Kedokteran Tropis (PKT) UGM juga melakukan hal serupa. Masing-masing insektarium bertulis nama peneliti yang berbeda, sehingga tidak ada yang tertukar.
“Seperti serangga lain, kalau di alam, makanan utamanya madu,” ujarnya, sembari membiarkan tangannya terus diisap nyamuk.
Aktivitas itu biasanya dilakukan selama 15 menit setiap pekan sekali.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (US-CDC) menyebut hanya nyamuk betina yang menggigit dan menghisap darah manusia karena membutuhkan protein agar bisa bertelur.
Karena alasan itu pula, Donnie dan peneliti lain di UGM gecar melakukan bloodfeeding sebab Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI meminta para peneliti itu menyediakan telur nyamuk pembawa Wolbachia untuk disebar di lima kota sebagai proyek percontohan untuk menekan penyakit demam berdarah dengue (DBD).
Lima kota itu adalah Jakarta Barat (DKI Jakarta), Bandung (Jawa Barat), Semarang (Jawa Tengah), Bontang (Kalimantan Timur), hingga Kupang (Nusa Tenggara Timur).
Program itu tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1341 tentang Penyelenggaraan Pilot project Implementasi Wolbachia sebagai inovasi penanggulangan dengue.
Jika berhasil dan terbukti efektif di lima wilayah itu, pemerintah bakal menyebar nyamuk wolbachia secara nasional untuk menekan angka penderita DBD.
Penelitian sejak 2011
Wolbachia adalah bakteri alami yang sangat umum hidup pada 50 persen spesies serangga, termasuk lalat buah, ngengat, capung, dan kupu-kupu. Bakteri ini dipastikan aman bagi manusia dan lingkungan.
Efektivitas teknologi nyamuk ber-Wolbachia di Indonesia telah diteliti sejak 2011 oleh World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta yang dipimpin Guru Besar FKKMK UGM Prof. dr. Adi Utarini sebagai peneliti utama, termasuk Donnie sebagai peneliti pendamping.
WMP Yogyakarta mulanya bernama Eliminate Dengue Project (EDP) Yogyakarta.
Dalam inovasi itu, para peneliti WMP Yogyakarta mengambil bakteri Wolbachia yang secara alami hidup pada tubuh serangga, kemudian memasukkan ke dalam tubuh nyamuk.
Hasilnya, keberadaan bakteri itu terbukti mampu menekan replikasi virus dengue di dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti.
Tak hanya menekan replikasi, bakteri itu juga melumpuhkan virus dengue dalam tubuh Aedes aegypti, sehingga nyamuk itu tak mampu menularkan virus tersebut ke tubuh manusia.
Setelah melalui serangkaian proses penelitian, pelepasan perdana telur nyamuk Aedes aegypti pembawa Wolbachia dilakukan pertama kali pada 2014 di empat padukuhan kecil di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul.
Pada 15 Agustus 2016, FK-KMK UGM bersama Monash University dan Yayasan Tahija kemudian melepaskan nyamuk ber-Wolbachia di Kota Yogyakarta, tepatnya di Kecamatan Tegalrejo dan Wirobrajan sebagai percontohan penelitian pengendalian DBD.
WMP Yogyakarta mencatat pelepasan nyamuk ber-Wolbachia tahap pertama di Kota Yogyakarta berlangsung selama tujuh bulan dengan cara menitipkan ember berisi telur nyamuk ber-Wolbachia ke rumah-rumah warga.
Penggantian telur nyamuk ber-Wolbachia dilakukan setiap 2 minggu sekali, selama periode penelitian itu.
Penitipan ember tersebut selanjutnya meluas ke wilayah intervensi penelitian Kota Yogyakarta pada awal 2017, dan melengkapi seluruh wilayah Kota Yogyakarta pada akhir 2020.
Tidak kurang 11.200 ember yang dititipkan kepada orang tua asuh (OTA) nyamuk di seluruh Kota Yogyakarta. Hingga kini, persentase nyamuk yang dapat menghambat penularan virus dengue tersebut stabil tinggi di seluruh wilayah Kota Yogyakarta.
WMP Yogyakarta sebagai kegiatan penelitian sudah ditutup pada akhir 2022, namun monitoring jumlah kasus dengue dan pengamatan nyamuk pembawa Wolbachia masih berlanjut.
Teknologi nyamuk ber-Wolbachia tersebut terbukti efektif mengurangi 77 persen kasus DBD dan 86 persen rawat inap karena dengue.
Tekan kasus DBD Yogyakarta
Pada 2023, Pemerintah Kota Yogyakarta mencatat jumlah kasus DBD terendah sepanjang sejarah, setelah inovasi teknologi nyamuk pembawa Wolbachia diterapkan di wilayah itu.
Kasus DBD terbukti menurun sejak program pelepasan nyamuk pembawa Wolbachia di Kota Yogyakarta dimulai pada 2016.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, jumlah kasus DBD di Kota Yogyakarta pada 2016 masih sangat tinggi, mencapai lebih dari 1.700 kasus.
Hingga pertengahan November 2023, kasus DBD merosot tajam tercatat hanya di angka 67 atau terendah sepanjang sejarah di Kota Yogyakarta.
Kepala Bidang Pencegahan Pengendalian Penyakit dan Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta Lana Unwanah menyatakan, selain mendorong penurunan kasus DBD dan tingkat rawat inap, intervensi dengan nyamuk pembawa Wolbachia juga efektif menghemat anggaran program fogging atau pengasapan.
Pada 2023, Dinkes Kota Yogyakarta menganggarkan Rp246 juta untuk 125 kali pengasapan, namun hingga November 2023 baru terealisasi sembilan kali.
Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan pada 2016 atau periode sebelum nyamuk pembawa Wolbachia dilepaskan, di mana pengasapan dilakukan lebih dari 200 kali.
Tokoh masyarakat Kelurahan Cokrodiningratan Kota Yogyakarta Totok Pratopo mengakui awal mula teknologi itu hendak diterapkan di wilayahnya sempat diragukan efektivitasnya serta sulit diterima masyarakat awam.
Pasalnya, upaya pemberantasan nyamuk justru dilakukan dengan menyebarkan nyamuk.
Namun setelah diterapkan, kasus DBD di wilayahnya yang sebelumnya memprihatinkan hingga mengakibatkan kematian, kini menurun drastis.
“Hari ini kampung saya Jetisharjo nol kasus. Tidak ada yang sampai masuk rumah sakit dan meninggal,” ujar warga tepi Kali Code itu.
Jaminan keamanan
Prof Adi Utarini menegaskan bahwa bakteri Wolbachia tidak akan bisa berpindah ke manusia sebab bakteri itu hanya mampu hidup di sel serangga, sehingga dijamin aman bagi kesehatan dan lingkungan.
Buktinya, para peneliti yang sejak 2011 atau selama 10 tahun lebih melakukan bloodfeeding atau memberi makan darah pada nyamuk secara rutin, setelah dilakukan pengecekan sampel darah sama sekali tidak ditemukan antibodi Wolbachia, demikian pula pada sampel darah masyarakat yang tinggal di lokasi penelitian.
Sebelum riset itu diimplementasikan di masyarakat, khususnya di Yogyakarta, sejak awal selalu didahului dengan sosialisasi hingga memperoleh penerimaan masyarakat serta dukungan pemerintah, mulai RT/RW, kabupaten, hingga provinsi, termasuk para tokoh setempat.
Di dunia, studi pertama Aplikasi Wolbachia untuk Eliminasi Dengue (AWED) dilakukan di Yogyakarta dengan desain Cluster Randomized Controlled Trial (CRCT).
Dari hasil studi AWED menunjukkan bahwa nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia mampu menurunkan kasus dengue sebesar 77,1 persen dan menurunkan rawat inap karena dengue sebesar 86 persen.
Bahkan, dari hasil studi tersebut dan hasil di beberapa negara lain yang menerapkan teknologi WMP, teknologi Wolbachia untuk pengendalian dengue telah direkomendasikan oleh WHO Vector Control Advisory Group sejak 2021.
Kendati beragam bukti empiris maupun ilmiah efektivitas teknologi nyamuk ber-Wolbachia sudah tersaji, rencana pemerintah Indonesia untuk menyebar nyamuk ber-Wolbachia secara nasional masih menghadapi beragam hoaks atau informasi keliru.
Karena itu, sosialisasi dan komunikasi mesti terus digencarkan, termasuk menegaskan bahwa masyarakat tidak akan dijadikan kelinci percobaan sebab penelitian itu telah tuntas, sehingga dipastikan aman.
Para peneliti menegaskan bahwa kelinci percobaannya adalah para peneliti itu sendiri, termasuk dr Donnie.
Comments