STARJOGJA.COM, Info – Yayasan Biennale Yogyakarta meneruskan tradisi pemberian Penghargaan Pencapaian Seumur Hidup (Lifetime Achievement Award/LAA) kepada sosok-sosok yang terpilih. Dalam menyongsong putaran kedua dari Biennale Equator ini, Lifetime Achievement Award menunjuk figur dengan Loyalitas, Dedikasi, dan Kontribusi pada Dunia Seni Rupa di Yogyakarta serta Prestasi dalam Lingkar Seni Rupa Indonesia yaitu, Siti Adiyati dan Subroto Sm.
Penghargaan ini diserahkan pada malam penutupan Biennale Jogja 17, 26 November 2023, di Gudang Bibis. Siti Adiyati merupakan seniman rupa kelahiran 2 Oktober 1951 menjadi salah satu pelopor Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI) pada tahun 1975-1979.
Siti Adiyati rutin menulis untuk koran, majalah, dan jurnal seni rupa di Indonesia. Salah satu jasanya adalah beliau menemukan kembali koleksi hasil pertukaran “Jakarta-Paris 1959” setelah kepulangan dari perjalanannya ke Jepang dan Prancis.
Sementara Subroto Sm merupakan perupa dengan gaya formalis sekaligus akademisi di bidang kesenian yang lahir pada 23 Maret 1946. Disamping konsistensinya membuat karya, beliau menjadi dosen di institusi tersebut sejak tahun 1969 hingga tahun 2011.
Beliau melewati masa-masa perubahan pergerakan seni di kampus kesenian itu mulai dari masih bernama ASRI hingga telah menjadi ISI. Perubahan-perubahan ini menunjukkan dedikasi yang kontinu Subroto Sm dalam akademik di bidang seni rupa.
Dalam tiga tahun terakhir, Subroto Sm masih aktif terlibat dalam pameran-pameran di banyak lokasi, bahkan di luar Yogyakarta. Sepanjang karirnya, Subroto Sm menekuni dan berkonsisten dengan kerja-kerja kesenian di Yogyakarta, hingga mancanegara.
Kedua seniman yang mendapatkan Lifetime Achievement Award Biennale Jogja 17 ini merupakan figur yang dianggap memiliki kontribusi penting dalam pembentukan wacana seni dan pengembangan ekosistem seni di Yogyakarta secara khusus, dan Indonesia secara umum. Para penerima Lifetime Achievement Award Biennale Jogja 17 ini dinilai telah mendapatkan pengakuan di bidangnya di ranah umum.
Melalui penghargaan ini, diharapkan Siti Adiyati dan Subroto Sm dapat menjadi figur yang terus merujuk pada kerja-kerja loyal terhadap seni rupa Yogyakarta dan seni rupa Indonesia.
Selain penyerahan penghargaan, malam penutupan ini juga dimeriahkan oleh penampilan dari Orkes Kembang Kempis ft. Nada Bicara. Ada pula penampilan dari pemutaran piringan hitam yang bersifat nomaden juga dari penampil Orkes Dansa Keliling by Mantrino Records. Biennale Jogja 17 2023 ditutup setelah melangsungkan pameran di 12 venue, yakni di kawasan Panggungharjo (Kawasan Budaya Karang Kitri, Kampoeng Mataraman, The Ratan, dan Pas Podjok), kawasan desa Bangunjiwo (Rumah Tua, Area Lohjinawi, Sekar Mataram, Njomblang Kemuning Joning Artspace, Gudang Bibis, dan Monumen Bibis), Pujasera Madukismo, dan Taman Budaya Yogyakarta.
Lebih dari 70 program telah terselenggara selama berlangsungnya pameran, meliputi aktivasi karya, forum diskusi, tur venue, pemutaran film, kunjungan sekolah dan universitas, pameran anak, lokakarya, dan pertunjukan. Agenda-agenda tersebut secara dominan hadir di area-area yang turut melibatkan warga setempat dan mendapat atensi dari kalangan warga baik sebagai audiens maupun sebagai partisipan.
Program lainnya berupa pameran satelit dengan tajuk Tangga Teparo yang melibatkan kolaborasi bersama beberapa galeri-galeri seni di daerah Yogyakarta dan sekitarnya. Selama 51 hari berlangsung, pameran Biennale Jogja 17 telah menyasar audiens sebanyak 120.000 jumlah pengunjung dalam 12 venue, 817.732 orang melalui media sosial, 2.000 kunjungan website, dan 150 publikasi melalui media cetak maupun portal media baik nasional maupun internasional, daring.
Informasi dari rangkaian program dan pameran turut menjadi asupan bagi masyarakat baik yang datang langsung ke lokasi, maupun kalangan publik dari wilayah yang jauh dari Yogyakarta. Biennale Jogja Equator kedua ini menjadi sebuah wajah baru dari upaya untuk mengusung praktik kesenian bersama lebih dari 70 seniman terlibat bersama dengan kolaboratornya yang lebih partisipatoris dengan melibatkan peran masyarakat.
Diselenggarakan di beberapa titik yang tersebar di pinggiran Yogyakarta untuk membuka percakapan jangka panjang dari ragam latar belakang budaya berbeda. Biennale Jogja 17 menghimpun pengertian tentang desa sebagai ruang dinamis yang terus berubah dan bergeser, dan melihat bagaimana perhelatan seni juga dapat menjadi ruang untuk mencari solusi bersama. Biennale Jogja 17 2023 menjadi ruang untuk menimbang kembali politik pengetahuan dan keterlibatan sosial dalam perkembangan seni kontemporer, termasuk dalam wahana kebudayaan yang luas.
Sumber : Biennale Jogja 17
Comments