STARJOGJA.COM, JOGJA – Grebeg Sekaten merupakan sebuah tradisi rutin Keraton Yogyakarta dalam bersedekah kepada masyarakat setempat. Tradisi ini biasanya dilakukan sebanyak tiga kali dalam satu tahun yakni, saat Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Idul Adha, dan peringatan Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Kata ‘grebeg’ sebenarnya diambil dari bahasa Jawa ‘gumbrebeg’ yang dikenal memiliki arti ribut, ramai, atau riuh. Kata tersebut mencerminkan masyarakat yang nantinya akan beramai-ramai merebutkan sebuah gunungan yang dibawa dalam acara.
Gunungan yang dimaksud dalam Grebeg Sekaten merupakan limpahan hasil berbagai macam bumi. Maka dari itu, biasanya gunungan yang ada ada dalam acara ini terbuat dari susunan sayur mayur, buah-buahan, hingga berbagai macam jajanan.
Gunungan dalam Grebeg Sekaten juga dijadikan sebagai simbol kemakmuran sekaligus mewakili keberadaan sosok manusia, baik itu laki-laki maupun perempuan. Gunungan tersebut terdiri dari Gunungan Jaler (laki-laki), Gunungan Estri (Perempuan), Gunungan Pewak dan Pawuhan.
Seluruh gunungan tersebut akan dibawa atau biasanya dikenal dengan istilah ‘kirab’, mulai dari Kori Kamandungan hingga Masjid Gedhe. Proses kirab ini akan melewati jalur Sitihinggil, kemudian menuju Pagelaran Alun-Alun Utara sebelum akhirnya sampai di Masjid Gedhe melalui pintu regol.
Gunungan tersebut nantinya akan dibawa oleh para abdi dalem dengan menggunakan pakaian dan peci berwarna merah, serta digunakan pula kain batik biru dengan motif lingkaran putih dan gambar bunga di tengahnya. Uniknya, para abdi dalem ini tidak menggunakan alas kaki saat melakukan kirab.
Sebelum memasuki proses kirab, akan dilakukan serah terima gunungan tersebut dulu oleh prajurit Wirobrojo. Prajurit tersebut biasanya menggunakan pakaian merah dengan topi Kudhup Turi, bertugas sebagai garda terdepan pada setiap acara Grebeg Sekaten.
Setelah dilakukan penyerahan, gunungan akan diterima oleh penghulu Masjid Gedhe untuk didoakan terlebih dulu. Kemudian, gunungan akan diperebutkan oleh masyarakat yang hadir dalam acara atau dikenal juga dengan istilah ‘ngrayah’. Masyarakat percaya, siapapun yang mampu mendapatkan bagian dari gunungan akan mendapatkan berkah.
Selain dipercaya mampu membawa berkah, proses ‘ngrayah’ juga memiliki filosofi bahwa setiap manusia harus berani melakukan persaingan dan berusaha untuk menghadapi setiap masalah. Tak hanya itu, telur merah yang ditusuk bambu dalam gunungan juga memiliki filosofi.
Penggunaan telur difilosofikan sebagai permulaan kehidupan dan bambu dianggap sebagai simbol bahwa setiap kehidupan di dunia ini memiliki poros utama yakni, Allah SWT. Selain itu warna merah dianggap sebagai representasi dari rezeki, berkah, dan keberanian.
Sumber : Visiting Jogja
Penulis : Rossa Deninta
Comments