STARJOGJA.COM,JOGJA – Konflik tak jarang muncul di keluarga yang baru terbentuk. Konflik antara suami dan istri yang seringnya disebabkan relasi dan komunikasi yang tidak sehat melibatkan orang tua suami. Dalam hal ini suami harus mampu menjadi penengah untuk meminimalkan konflik.
Kabid Kualitas Hidup Perempuan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) DIY, Rofiqoh Widiastuti, mengatakan berdasarkan survei Kompas, 60% konflik pada keluarga baru terjadi antara mertua dan menanntu perempuan.
“Ini penting karena berhubungan dengan cara melihat perempuan dalam rumah tangga. Ini ada perebutan otoritas wilayah,” ujarnya dalam Program Harmoni Keluarga Star FM.
Menurutnya, laki-laki dibesarkan dalam pengasuhan ibunya untuk menjadi tulang punggun keluarga. Ibu berharap anak lakinya membantu meningkatkan ekonomi keluarga. Sementara istrinya mengharapkan laki-lakui menjadi kepala keluarga yang menfakahi keluarga barunya.
“Kita meletakkan laki-laki sebagai aset bertumpu ekonomi. Beda kalau kita tempatkan anak sebagai amanah. Ekspektasi kepada anak laki-laki tidak jadi tumpuan. Ekspektasinya membesarkan laki-lakilaki bertanggung jawab lepada keluarganya,” katanya.
Perempuan yang dibawa oleh suaminya ke dalam keluarga suami juga biasanya mendapatkan tekanan karena menjadi orang baru dalam keluarga tersebut dengan tuntutan yang cukup besar yakni dalam mengurus rumah tangga, pengasuhan anak dan sebagainya.
Dalam posisi itu, istri biasanya membutuhkan rasa aman yang perlu diberikan oleh suami.
“Yang menjadi penyambung kedua pihak adalah suami. Dia harus mampu jadi penyeimbang kedua pihak. Istri butuh rasa aman. Ketika tidak bisa diberikan suami, maka konflik memuncak,” kata dia.
Dalam menjalankan perannya sebagai penengah, suami harus bisa mendinginkan suasana ketika terjadi konflik antara istri dengan ibunya. “Kuncinya selain komunikasi, mampu terbangun rasa aman di antara mereka. Jangan pernah masing-masing diaalahkan. Yang dibutuhkan adalah ngademke,” paparnya.
Anggota DPRD DIY, Muhammad Syafii, menuturkan yang krusial di dalam pola hubungan suami-istri baru adalah mebyiapkan bekal finansial dan psikologis. Karena menurutnya, dalam pernikahan di Indonesia, tidak hanya menyatukan dua orang saja, namun dua keluarga.
“Menyatukan dua keluarga besar yang ada, sementara dalam keluarga inti saja tak terhindarkan adanya benturan. Misal tinggal dimana, menjadi pilihan masing-masing harus siap. Kalau di tempat peremuan, laki-laki harus siapkan keluarga kecilnya masuk di keluarga istrinya,” ujarnya.
Comments