STARJOGJA.COM.JOGJA – Sindrom Cinderella Complex Ancam Generasi Muda. Perlu pola asuh sejak dini untuk mencegah munculnya sindrom ini pada remaja perempuan.
Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) DIY menyoroti pentingnya pola asuh sejak dini untuk mencegah munculnya sindrom cinderella complex pada remaja perempuan. Sindrom ini ditandai dengan kecenderungan bergantung pada orang lain, terutama laki-laki, dan kesulitan dalam mengambil keputusan mandiri.
“Dampaknya sangat luas. Remaja dengan sindrom ini cenderung pasif, sulit mengembangkan potensi diri dan rentan terhadap tekanan sosial. Mereka juga sering kali merasa tidak mampu menghadapi tantangan hidup dan memilih jalan yang lebih mudah, seperti menikah dini,” kata Kepala DP3AP2 DIY Erlina Sumadi dalam takshow Harmoni keluarga StarFM, Jumat (25/10/2024).
Sindrom cinderella complex muncul akibat adanya ketimpangan gender dalam proses pengasuhan anak. Hal ini diperparah dengan kondisi masyarakat yang masih bias gender dan cenderung menempatkan perempuan sebagai pihak yang tidak berdaya, butuh diselamatkan sehingga perlu mendapatkan bantuan/pertolongan dari laki-laki.
Hal ini perlu mendapatkan perhatian orang tua, keluarga, pihak sekolah/institusi pendidikan termasuk pemerintah dan masyarakat sekitar karena berpotensi menimbulkan kerugian bagi perempuan baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Erlina menambahkan bahwa sindrom ini dapat menghambat perempuan untuk mengeksplorasi potensi dan meraih cita-cita.
“Ketakutan akan kegagalan dan ketidakmampuan membuat mereka enggan mengambil risiko, termasuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri atau mencari pekerjaan yang menantang,” jelasnya.
Menuturkan, perempuan yang mengidap cinderella complex juga cenderung tidak bisa bersikap dalam memutuskan sesuatu untuk diri sendiri. Dalam dirinya muncul keinginan tidak sadar untuk selalu dilindungi sehingga kerap bermasalah dalam relasi dengan teman.
Hal ini jelas tidak dilatih dalam pola pengasuhan sejak dini sehingga sering kali ketergantungan yang kuat terhadap laki-laki.
“Maka keinginan untuk nikah dini dengan harapan ada yang melindungi kuat dan biasanya juga memutuskan nikah dengan orang yang jauh lebih tua,” ujarnya.
Anggota DPRD DIY Stevanus Handoko mengamini bahwa sindrom cinderella complex masih menjadi masalah serius di Jogja. “Stigma masyarakat yang menganggap perempuan sebagai pihak yang lemah dan membutuhkan perlindungan terus menghantui,” kata Stevanus.
Stevanus berharap generasi muda ke depan dapat terlepas dari belenggu sindrom ini.
“Kita perlu menciptakan lingkungan yang mendukung kesetaraan gender dan mendorong perempuan untuk mandiri,” tegasnya.
Untuk mengatasi masalah ini, DIY telah memiliki tiga peraturan daerah (Perda) yang relevan, yaitu Perda No. 13/2022 tentang Penyelenggaraan Kesehatan Jiwa, Perda No. 2/2018 tentang Penyelenggaraan Pelindungan Anak dan Perda No. 4/2023 tentang Pengarusutamaan Gender.
Aturan ini diharapkan dapat menjadi landasan hukum dalam upaya pencegahan dan penanganan sindrom cinderella complex.
“Perda-perda ini memberikan payung hukum yang kuat bagi pemerintah dan masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan pencegahan, seperti edukasi, sosialisasi, dan konseling,” ujar Stevanus.
Untuk mencapai hasil yang optimal, diperlukan pendekatan yang komprehensif melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah, DPRD, sekolah, masyarakat, keluarga, lembaga pendidikan, hingga layanan kesehatan.
“Kita harus bekerja sama untuk mengubah pola pikir masyarakat dan menciptakan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang perempuan secara optimal,” kata dia.
Comments