STARJOGJA.COM,JOGJA – Indonesia menempati kasus Baby Blues tertinggi di Asia. Data BKKBN pada awal 2024 mencatat kasus Baby Blues yang terjadi di Indonesia mencapai 57 persen.
Psikolog Universitas Proklamasi 45 Jogja Ayu Gigih Rizqia mengatakan baby blues merupakan perubahan suasana hati bagi ibu yang baru melahirkan. Hanya sedikit orang yang menyadari, terjadinya perubahan psikis dari ibu yang baru melahirkan. Seharusnya, kata Ayu, ketika buah hati lahir, ibu itu senang, bahagia.
“Apalagi kalau ibu itu menunggu kelahiran buah hatinya. Tetapi ada perubahan suasana hati dari si ibu karena penurunan hormon estrogen dan progesteron. Itulah yang menyebabkan terjadinya baby blues,” katanya dalam Program Harmoni keluarga Star FM.
Ayu mengatakan Sebenarnya,sesuatu hal yang wajar terjadi perubahan hormonal pada perempuan. Apalagi seorang ibu yang baru melahirkan. Suasana sedih, cemas, khawatir dan sebagainya.
“Perubahan suasana ini justru dinilai negatif. Kok kami gak happy? Gak bersyukur? Hal ini pun dipandang negatif,” kata Ayu.
Ayu mengatakan, tidak semua ibu mengalami baby blues. Ada yang bisa beradaptasi dan sudah teredukasi. Meski tidak bisa menghindari rasa shock karena kelahiran anak pertama ataupun tugas dan tanggungjawab barunya, lanjut Ayu, ibu yang sudah teredukasi soal baby blues bisa mengatasi perubahan yang terjadi dalam dirinya.
“Misalnya saat anak nangis, lapar, rewel, tentu membuat ibu panik. Kan anak baru lahir tidurnya belum tahu jamnya. Ibu belum tahu itu. Itu jadi beban tersendiri bagi ibu. Tapi kalau sudah teredukasi, seorang ibu bisa beradaptasi dengan situasi itu. Jadi beradaptasi dengan sesuatu yang baru,” katanya.
Kondisi baby blues sang ibu itu, lanjut Ayu, secara perlahan akan berkurang seiring dengan waktu sang ibu belajar memahami anaknya. Kecuali, kata Ayu, jika kondisi tersebut terjadi dalam jangka waktu lama, maka sang ibu perlu segera mendapatkan pertolongan.
“Seminggu dua minggu kondisi (baby blues) si ibu akan terus berkurang, tapi kalau sampai berlarut-larut maka perlu dikonsultasikan karena bisa jadi bukan hanya baby blues tapi ada hal lainnya. Selama bisa mengendalikan diri, ibu masih fine-fine saja,” kata Ayu.
Selain perubahan hormon dan beradaptasi, kata Ayu, ibu baru terkadang terlalu khawatir dengan kondisi anaknya. Apalagi ada mitos-mitos ketika merawat seorang anak. “Jadi emosinya bisa nggak baik-baik saja, itu bisa menimbulkan kekhawatiran bagi sang ibu. Nah proses adaptasi ini butuh 2-3 minggu. Kalau tidak bisa ya bisa dikonsultasikan,” katanya.
Penggerak Swadaya Masyarakat Muda DP3AP2 DIY Naresthi Primasari mengatakan saat ini perempuan di Indonesia memiliki beban yang tidak sedikit. Selain berperan di ruang domestik, perempuan juga diberi ruang untuk berkiprah di ruang publik.
“Perempuan terutama ibu itu harus tampil perfect, harus bisa berperan sebagai ibu, sebagai isteri dan bermacam-macam tugas lainnya. Itu semua dinilai kewajiban perempuan, dianggap wajar dan tidak ada penghargaan,” katanya.
Karena tidak ada perhatian dan dianggap biasa, lanjutnya, seorang ibu merasa kelelahan. Beban-beban itu yang menambah seorang ibu yang baru melahirkan sehingga ada yang mengalami baby blues. Baby blues menjadi sesuatu yang dianggap biasa, tetapi tidak juga hal yang bisa dianggap biasa.
“Itu butuh perhatian dari semua pihak, dari keluarga, masyarakat, pemerintah. Sebab data-data yang ada, 57 persen perempuan terkena baby blues, ada yang sampai depresi. Kami berharap tidak sampai terjadi itu. Kami (DP3PA2 DIY) ada dukungan dari Puspaga (pusat pembelajaran keluarga) dan Tesaga (telepon sahabat anak dan keluarga),” katanya.
Dengan layanan Puspaga dan Tesaga, DP3PA DIY menyediakan layanan bagi keluarga seperti persiapan pranikah bagi pasangan muda, termasuk layanan bagi perempuan yang baru menjadi ibu atau orang tua baru.
“Bisa juga melibatkan suami, bisa gantian menjaga si anak. Jadi berbagi peran dengan suami. Suami bisa saling mendukung agar suasana hati si ibu baik,” katanya
Comments