STARJOGJA.COM, Jogja – Indonesia, begitu kaya dengan ragam budaya. Banyak hal yang bisa diceritakan dari beragam aspek, pun dari kehidupan sehari hari masyarakatnya, dari Sabang sampai Merauke. Bisa jadi, hal itulah yang membuat banyak sastrawan domestik bahkan manca tertarik untuk menuliskannya menjadi sebuah karya.
Dari sekian banyak kisah yang dituturkan dan ditulis, tidak lengkap rasanya apabila kita terlewat untuk mengetahui mengenai kisah Nyai Dasima (Tjerita Njai Dasima) yang merupakan karya G. Francis, seorang penulis berkebangsaan Belanda.
Cerita Nyai Dasima ini sendiri dituliskan lebih dari seabad lalu, kala kolonialisme masih berkuasa di Indonesia, sehingga bisa dimengerti dan juga dimaklumi bahwa karakter tokoh tokoh didalamnya, bisa jadi, sengaja ditampilkan sedemikian rupa, sehingga Tuan W yang notabene adalah seorang tuan Belanda, merupakan tokoh protagonis, sementara tokoh tokoh pribumi, diwujudkan sebagai karakter antagonis. Yah, kalaupun tidak 100 persen antagonis, tetap saja ada unsur buruk, tamak dan yang jelek jelek.
Namun kali ini, saya tidak akan menuliskan resensi mengenai tulisan G. Francis, karena saya tidak atau belum membaca buku tersebut. Yang akan saya tuliskan adalah buku Nyai Dasima yang ditulis ulang oleh S. M. Ardan.
Kisahnya dimulai pada tahun 1820-an, Jakarta, di jaman Betawi. Tersebutlah Kampung Kwitang yang kala itu masih serupa setengah hutan, dimana tinggal seorang Samiun Sang Kusir Delman yang beristrikan Hayati, perempuan gabug (mandul) yang doyan Judi Ceki. Ada pula tokoh lain, Ibu Samiun (Mak Leha) dan tetangga seberang rumah mereka, Mak Buyung, seorang babu pada keluarga Tuan W (Edward Williams) yang memiliki istri piara, yaitu Nyai Dasima, sang tokoh utama. Karakter lain yang muncul dalam kisah ini, Wak Lihun, Dulo, Nancy dan beberapa karakter lain yang hanya sekelebat lewat, yang rasa rasanya tidak perlu disebutkan disini.
Sejarah mencatatkan, “Witing tresno jalaran saka kulina”. Hal ini juga yang nampaknya hendak diceritakan, terkait tumbuhnya benih cinta di hati Samiun kepada Nyai Dasima.
Samiun yang setiap hari bertugas mengantarkan Nancy (anak Tuan dan Nyai Dasima) ke sekolah, mau tidak mau (atau sebetulnya suka?) selalu bertemu dengan Dasima. Ibarat rumput tetangga yang selalu lebih hijau, Dasima yang mempunyai sifat bertolak belakang dengan Hayati, dianggap oleh Samiun sebagai perempuan yang merupakan sosok istri yang sempurna. Keinginan untuk menjadikan Dasima sebagai madu bagi Hayati-pun, akhirnya diutarakan kepada sang Ibu. Melalui perdebatan panjang dan juga berbagai intrik, kong kalikong dan juga per-comblang-an yang dikemas dengan cara dan bahasa yang apik, menjadikan keinginan Samiun ini tidak terbaca memuakkan, minimal bagi saya yang juga perempuan.
Pembaca, secara cerdas, seakan sengaja diarahkan untuk berpihak kepada Samiun, yang terkesan sudah tepat dengan pilihannya, karena Hayati yang gila judi, memang sudah kelewatan, pun dia ternyata mandul, tidak bisa memberikan keturunan.
Lantas, apakah cinta Samiun mencapai tujuannya? Seperti apa kisah akhirnya? Beli dan baca sendiri ah. Kalau saya tulis lengkap, ga seru lagi. Bukunya ga mahal mahal amat, dan kalau anda memang gemar mengkoleksi buku buku ringan tapi berisi, bolehlah Nyai Dasima ini masuk ke dalam daftar koleksi anda.
Judul buku : Nyai Dasima
Penulis : Ardan, S.M. & Francis, G.
Penerbit : Masup Jakarta
ISBN : 978-602-96256-1-5
[…] Sumber: https://www.starjogja.com/2018/07/20/ini-sosok-istri-sempurna-ala-nyai-dasima/ […]