STARJOGJA.COM, JOGJA – Gedung DPRD DIY di Jalan Malioboro Yogyakarta punya sejarah panjang dalam perjalanan sosial politik di wilayah ini. Gedung Teosofi atau juga disebut ”Gedung Setan” juga jadi nama lain gedung DPRD DIY.
Gedung DPRD DIY dahulu merupakan bangunan yang digunakan Gerakan Mason untuk melakukan aktivitasnya. Gerakan Mason muncul di Hindia Belanda pada tahun 1870. Gerakan Mason dicetuskan oleh Freemasonry atau dalam bahasa Belanda disebut vrijmetselarij (perkumpulan orang-orang Belanda di Yogyakarta). Gerakan Mason bergerak di bidang pengajaran untuk mencapai kesetaraan.
Gedung Mason digunakan Gerakan Mason sebagai pusat kegiatan teosofi. Kegiatan tersebut bersumber tradisi pengajaran dan latihan persaudaraan para artisan era abad pertengahan yang mengepankan tata cara berserikat secara bebas atau merdeka. Tujuan kegiatan itu untuk membentuk kesadaran untuk selalu menekankan kebebasan, kesetaraan, melakukan amal, dan taat kepada peraturan perundangan yang ada. Kehadirannya sering menimbulkan pro dan kontra, akan tetapi eksistensinya berkembang dan mempunyai banyak pengikut.
Kehadiran Freemason di Yogyakarta menarik perhatian para bangsawan pribumi dari Puro Pakualaman Yogyakarta untuk menjadi pengikutinya. Berdasarkan catatan Gedenkscrift Paku Alam VII (1931), bangsawan yang menjadi anggota Mason pada tahun 1871 adalah Pangeran Aryo Suryodilogo (kelak menjadi Paku Alam V). BPH Notodirojo, salah satu keluarga Pakualaman juga menjadi salah seorang pangeran yang menyebarluaskan Freemasonary di Yogyakarta. Berbagai acara dilaksanakan di Gedung Teosofi ”Loji Mataram”, sehingga keberadaan gedung tersebut kemudian banyak dikenal orang dengan nama Gedung Teosofi atau juga disebut ”Gedung Setan”.
Penamaan tempat dengan nama ”Gedung Setan” terkait dengan berbagai kegiatan yang dilakukan bersifat rahasia, kebatinan, tidak bersifat fisik atau hal-hal tidak berwujud. Salah satu contoh adalah acara pertemuan dan pengajaran yang dilakukan di Huis van Overdenking atau Omah Pewangsitan. Gedung teosofi Yogyakarta atau disebut juga dengan nama Loji Mataram (Loge Mataram), sering digunakan untuk melakukan pertemuan Mason secara rutin (Surjomihardjo, 2000: 43).
Pada tahun 1948 – 1950 dialihfungsikan menjadi fasilitas organisasi sosial politik. Pada masa transisi pasca kepindahan ibukota Republik Indonesia ke Kota Yogyakarta dan kembalinya Kota Yogyakarta menjadi fasilitas yang terkait dengan kegiatan sosial politik BPKNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat). Peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di gedung ini yaitu pencetusan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif oleh Kabinet Hatta pada tanggal 2 September 1948 di depan sidang BPKNIP. Di sidang BPKNIP Bung Hatta mengucapkan pidato bertajuk ”Mendayung Antara Dua Karang”. Hal itu diucapkan ketika Republik Indonesia masih berada dalam blokade Belanda. (Hari Warta, 3 September 1948).
Setelah kembalinya ibu kota ke Jakarta pada 1949, pihak Kasultanan menyerahkan pemakaiannya kepada Pemerintah Daerah untuk Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari penyerahan tahun 1951, sampai dengan sekarang masih digunakan sebagai ruang rapat paripurna sidang DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta.
Bangunan Gedung DPRD tersebut diperkirakan didirikan pada akhir abad XIX. Oleh karena itu, bangunan berlanggam gaya indis tersebut dapat disebut mendekati model empire style. Beberapa corak gedung yang menonjol adalah bagian fasad terdapat teras terbuka, struktur dinding segitiga corak tympanum di bagian tritis, dan di teras dilengkapi dengan beberapa tiang kokoh bulat stereotipe dengan model dorik.
Comments