STARJOGJA.COM, Bandung – “Orang banyak bicara tentang produk kopi, mulai dari jenis yang beraneka, cara penyajiannya, sampai betapa pentingnya kopi sebagai salah satu komoditas ekspor yang menjanjikan. Tapi kenapa hanya sedikit yang melihat sisi lain. Bagaimana nasib petani kopi dan bagaimana kondisi alam tempat kopi-kopi itu tumbuh?”
Pertanyaan itu membuka perbincangan saya dengan Bang Megan–demikian orang memanggilnya– salah satu petani kopi yang aktif sebagai penyuluh pertanian organik di seputaran Jawa Barat, siang itu.
Saya sengaja mengunjungi Megan di sela penugasan saya dari kantor ke Bandung, pekan lalu. Berbincang dengan lelaki yang bernama asli Roni Sharoni di “pertapaannya” di shelter Gunung Puntang, Kabupaten Bandung, serasa menyenangkan. Dia banyak bercerita tentang petualangannya di dunia pertanian hingga akhirnya hatinya tertambat pada kopi dan kemudian bergabung dengan Koperasi Klasik Beans.
Sembari sibuk menyeduh kopi untuk menyuguhi saya dan rombongan, Megan sempat melontarkan uneg-unegnya. Kebanyakan masyarakat, bahkan petani sendiri, kata dia, lebih mengejar kuantitas produk kopi. Tanaman kopi “diperas” sedemikian rupa agar terus berbuah. Imbasnya alam yang jadi korban. “Tanaman kopi tidak sama dengan sayuran yang bisa dibudidayakan di perkebunan biasa,” jelas Megan. Kopi seharusnya tumbuh di habitat asalnya, yakni di bawah rerimbunan pohon lainnya di tengah hutan. Bicara kopi bukan bicara tentang banyak sedikitnya produk panenan, tetapi juga bicara tentang alam, tentang kualitas hutan dimana kopi-kopi seharusnya hidup.
Baca Juga : Siswa Di Korea Selatan Dilarang Minum Kopi, Kenapa?
Karena kecintaanya kepada alam itulah membuat Megan menjatuhkan pilihan untuk bergabung dengan Koperasi Klasik Beans. Koperasi yang didirikan oleh Eko Purnomowidi dan delapan temannya itu mewadahi ratusan petani kopi di beberapa daerah di Nusantara. Menggunakan konsep agroforest, Klasik Beans mengajak petani kembali ke hutan alam untuk membudidayakan kopi. Dan hasilnya, kopi-kopi dari Koperasi Klasik Beans, baik dari jenis Robusta, Arabica, maupun Tipica, berhasil memikat perhatian pecinta kopi, bahkan hingga ke luar negeri.
Bang Megan adalah satu petani yang kemudian menjadi salah satu penyuluh petani di Klasik Beans. Bersama petani lainnya, Megan melakukan pendampingan untuk pertanian organik di area pertanian binaan Klasik Beans.
Klasik Beans sendiri awalnya didirikan berangkat dari keprihatinan Eko Purnomowidi dkk melihat kondisi pertanian kopi di Jawa Barat. Ketika itu, cerita Megan, jika ingin menanam kopi, petani harus membeli bibit dengan harga mahal. Alasannya karena bibit kopi wajib bersertifikasi. “Ini kan aneh? Kenapa petani harus membayar mahal untuk bibit dianugrahkan oleh alam secara gratis?”
Bersama teman-temannya, Eko Purnomowidi pun berinisiatif melakukan pendampingan kepada petani. Bukan hanya membagikan bibit cuma-cuma kepada petani, mereka pun member contoh tentang pola tanam kopi yang benar. “Waktu itu Pak Eko dkk mengkampanyekan bahwa kopi adalah produk alami yang harus hidup di hutan. Bukan di kebun,” jelas Megan. Tanaman kopi akan menghasilkan biji yang berkualitas kalau tumbuh terlindungi oleh pepohonan besar lainnya, yang berasal dari berbagai jenis. Dan hal tersebut hanya bisa terjadi di tengah hutan, dimana ada banyak pepohonan rimbun yang menjadi pelindung tanaman kopi.
Parahnya, saat itu kondisi hutan juga memprihatinkan. Banyak lokasi yang gundul sehingga harus mencari lokasi yang benar-benar rindang untuk bisa menanam kopi. Melihat kondisi yang demikian, Eko dkk pun mengajak masyarakat untuk mulai melakukan penghijauan di hutan-hutan rusak sekitar tempat tinggal mereka. Sekali dayung dua pulau terlampaui. Pohon kopi mendapatkan habitat yang tepat untuk bisa berkembang, sementara hutan-hutan yang rusak pun perlahan mulai bisa diperbaiki dengan reboisasi.
Bukan perkara mudah untuk meyakinkan petani mengubah pola tanam kopi mereka. Karenanya Eko dkk pun mengawali dengan memberi contoh dengan melakukan eksperimen di lahan yang sengaja mereka sewa. “Nah ketika hasilnya ternyata bagus, barulah orang lain mau bergabung dan mengikuti pola tanam sebagaimana yang dilakukan Pak Eko dkk,” katanya.
Kini para petani kopi, khususnya di Jawa Barat pun bisa menikmati hasil kerja keras mereka. Gunung Puntang merupakan salah satu penghasil kopi terbaik keluaran Klasik Beans. Di sana ada sekitar 25 petani kopi yang tergabung. “Dan yang penting, Klasik Beans tidak pernah memaksa petani menjual kopi mereka hanya ke koperasi ini. Mereka bebas menjual ke siapa saja,” tegas Megan lagi. Namun demikian, tampaknya petani di seputaran Gunung Puntang lebih mantap bekerjasama dengan Klasik Beans. Selain karena mendapat imbalan harga yang bagus, pihak koperasi juga tak segan memberi pendampingan secara kekeluargaan kepada para petani.
Klasik Beans saat ini sudah menjadi salah satu produsen kopi yang diperhitungkan di Tanah Air. Bukan hanya di Jawa Barat, Eko dkk juga sudah melakukan pendampingan di daerah lain, di Pulau Jawa, Bali, Sumatra dan Bali. Lebih dari 80% produk kopi para petani yang tergabung dalam koperasi yang dibentuk tahun 2011 itu sudah dieskpor, Dengan menyeimbangkan lahan pertanian dengan alam, kini volume produksi ekspor terus meningkat.
Meski posisinya sudah diperhitungkan di dunia perkopian di Tana Air, bahkan mancanegara, bukan berarti Klasik Beans tidak menemui kendala dalam menjalankan usahanya, Yang utama adalah terkait sosialisasi dan penyuluhan. Sebagaimana diketahui, lahan pertanian binaan saat ini saling berjauhan lokasinya. Dan hal itu cukup menyulitkan karena setidaknya sekali dalam sepekan mereka harus melakukan pertemuan dengan petani.
“Komitmen Klasik Beans adalah menjaga agar hutan-hutan di dataran tinggi di Indonesia bisa terjaga kelestariannya,” papar Megan sebelum mengakhiri perbincangan kami di kebun kopi di Gunung Puntang.
Komitmen menjaga kelestarian alam, sambung Bang Megan harus dimulai dari diri sendiri dan keluarga sebagai lingkungan terkecil. Dan itu sudah dicontohkan oleh Klasik Beans. Untuk mengajak masyarakat menjaga alam, siapapun tamu shelter dilarang keras membawa makan atau minuman dalam kemasan plastik. “Karena plastik merupakan salah satu musuh alam. Sekali dibuang, selamanya tidak akan bisa diurai dan menjadikan alam tercemar,” ujarnya.
Ke depannya, Eko Purnomowidi dan teman-temannya pun berkeinginan membuat sekolah alam untuk mengajarkan berbagai hal tentang alam kepada anak-anak. “Doakan agar cita-cita ini segera terwujud,” harap Megan.
Tentu saja, kita semua berharap cita-cita mulia untuk melestarikan alam Indonesia itu bisa segera terealisasi.
Comments