STARJOGJA.COM, OPINI – Beberapa hari terakhir muncul pemberitaan tentang drama Ratna Sarumpaet yang berbohong telah dianiaya saat di Bandara Bandung. Media sosial maupun media massa berbasis online dengan cepat merespon drama berbohong ini dengan cepat. Media massa pun berlomba-lomba menampilkan berita soal aktivis tersebut.
Kecepatan informasi membuat drama berbohong ini semakin menarik. Awalnya Ratna menyatakan dirinya dipukuli saat berada di Bandung, Jawa Barat, pada 21 September 2018. Foto yang menggambarkan mukanya lebam-lebam juga telah beredar di dunia maya.
Berbagai kalangan politisi saat itu langsung bereaksi dengan cepat jika aksi penganiayaan itu harus ditindak dan lain sebagainya. Kalangan politisi itu bereaksi karena Ratna merupakan tim pemenangan capres Prabowo-Sandiaga di Pilpres 2019.
Baca Juga : Ini Alasan Kenapa Perempuan Berbohong pada Pasangannya
Namun setelah polisi ikut ambil bagian dan menyelidiki kasus penganiayaan Ratna ternyata membuat alur cerita berbeda. Fakta yang ada, lebam-lebam di wajah Ratna Sarumpaet ternyata efek dari operasi plastik, terbukti dari penyelidikan polisi saat berada di RS Bina Estetika pada 21 September 2018.
Ratna memang dekat dengan dunia politik sejak kasus Marsinah sekitar tahun 1993 lalu. Namun pertanyaan saya untuk perempuan berumur 70 tahun kenapa drama berbohong itu muncul di benak aktivis sosial ini? Terlepas dia adalah seorang pemain teater yang lihai memerankan tokoh apapun, tapi tetap sejatinya adalah orang tua.
Orang yang seharusnya sudah khatam soal kebijaksanaan, kearifan, dan jauh dari aksi drama berbohong murahan seperti ini. Orang tua itu harus dicontoh perilakunya karena sikapnya akan ia tularkan kepada anak-anak dan cucu-cucunya.
Pengalaman pribadi saya dengan orang bernama Ratna adalah bibi saya atau bulek saya. Melihat perilaku kepada keponakan, anak dan masyarakat sekitar sepertinya faktanya jauh berbeda dengan tokoh ini.
Secara arti, nama Ratna sendiri adalah intan, mulia dan semua hal yang indah dan baik. Harapan orang tua memberi nama Ratna tentu memiliki cita-cita sendiri waktu itu. Setiap orang tua tentu ingin anaknya berperilaku sesuai dengan nama yang sudah diberikan.
Mungkin Ratna Sarumpaet sedang bermain teater kepada publik? Memerankan seorang yang pandai berbohong dan mempermainkan emosi orang. Bisa juga kan. Tentu ini bukan hanya soal suksesnya memerankan tokoh yang pandai berbohong, tapi bagaimana ia mampu menjaga kebohongan itu terselamatkan dan sukses.
Sayangnya, peran tokoh ini gagal dimainkan oleh Ratna. Jika ia mampu memerankan tokoh itu dengan baik dengan skenario, setting, dan panggung ok akan menjadikan ia seorang pemain teater handal.
Sebab melihat rentetan perjalanan hidupnya ditambah dengan umurnya saat ini tentu memiliki kualitas dewa soal seni peran. Entah setting dan alur yang tidak pas dan terkesan terburu-buru membuat penonton menyorakinya. Padahal sejak pentas drama ini dimulai semua tertarik untuk melihat sampai selesai ceritanya. Bahkan semua berkata lantang bahwa seni peran ini harus didukung.
Euforia itu membuat pemainnya goyah karena cepat puas dan tidak fokus sehingga membuat pemain menikmati respon penonton. Sebagai seorang pemain teater seharusnya tidak cepat puas dengan euforia itu. Nikmati perannya dan jalankan sampai skenario selesai.
Sepertinya, penggung pementasan memiliki alur sendiri. Penonton mulai kecewa karena pemainnya tidak fokus pada skenario. Sehingga cerita yang dibangun tidak sesuai ekpetasi penonton.
Sayang, pihak keamanan panggung turut termakan kekecewaan penonton. Mereka pun mulai menyelidiki cerita dan fakta yang ada. Jelas, seni panggung dan dunia nyata bertolak belakang. Akhirnya pemeran tokoh Ratna ini mulai blank di tengah pementasannya.
Handuk putih pun dilemparkan sutradara langsung, sebagai penanda bahwa panggung malam itu gagal. Kegagalan ini membuat sutradara meminta maaf ke publik karena tidak sesuai ekpetasi. Akhir peran itu ditutup dengan permintaan maaf dan kegagalan pemain memerankan tokohnya.
Memang sampai saat ini saya belum pernah melihat ketika dia benar-benar bermain seni peran di panggung. Tapi ketika gagal memerankan sebuah tokoh ya dimaklumi saja, ya dimaafkan. Toh dia sudah meminta maaf kepada penontonnya.
Bagi sebagian orang, masih ingin tetap membawa pemain yang gagal ini untuk dibawa ke meja hijau. Buat apa? Toh dia sudah meminta maaf kalau perannya gagal. Itu sudah cukup meruntuhkan harga dirinya.
Memaafkan pemain itu saat ini menjadi pilihan yang bijak sepertinya. Memaafkan ini berarti penonton mengajarkan kepada pemain itu agar tetap bijaksana terlebih di usia tua. Penonton hanya meminta saja kepada pemain itu agar Terus berlatih dan fokus agar seni perannya semakin mantap. Terlebih tidak berhenti di tengah jalan.
Comments