STARJOGJA.COM, Yogyakarta – ” Kling klong” Suara bel sepeda menandai mereka akan melewati saya yang tengah bersepeda pagi. ” Monggo mas “,” Duluan mas ”
Kalimat itu terucap dari sebuah rombongan bersepeda yang sama-sama tengah menelusuri sudut jalan menuju Kota Jogja. Aneka merk dan model sepeda kemudian melewati saya yang tengah mencari cara menggenjot sepeda di rute menanjak.
Keramahan itu muncul dari mereka yang tidak saling kenal menjadi satu dalam ritme bersepeda di pagi hari. Senyuman dan juga sapaan bel sepeda pun muncul saat di arah lain juga muncul pesepeda yang tengah melintas. Sebuah suasana penuh persahabatan ala Jogja yang kini tergerus oleh pola komunikasi individu.
Baca Juga : Jogja Kota Sastra : Dulu dan Sekarang
Masyarakat kini tidak lagi bersepeda untuk menuju tempat beraktifitas, melainkan menggantikan dengan kendaraan yang lebih modern, motor. Praktis, cepat, dan mudah. Bersepeda kini hanya menjadi sebuah rutinitas untuk olahraga di hari Minggu ataupun hari libur lainnya.
Sepeda yang sejak berpuluh-puluh tahun menjadi kendaraan khas masyarakat jawa perlahan ditinggalkan. Ingatan saya melayang ke puluhan tahun yang lalu, saat masyarakat masih menjadikan sepeda itu sebagai pilihan utama. Jalan bantul menjadi salah satu saksi dari marakknya pesepeda yang melintas pada pagi ataupun sore hari.
Di pagi hari, saya masih ingat dimana banyak sekali masyarakat yang berangkat bekerja menggunakan sepeda ontel menuju tempat kerjanya di Jogja. Sementara di sore hari mereka beramai-ramai untuk pulang ke Bantul usai seharian bekerja di pusat kota.
Di antara genjotan dan peluh keringat, mereka tak jarang bertegur sapa dan bersosialisasi. Bertemu teman hingga tercipta persaudaraan baru menjadi sebuah bagian dari rutinitas pesepeda ini. Bahkan ada guyonan yang menyebut gampang mengenali wajah orang Bantul karena belang separoh akibat tertimpa sinar matahari saat berangkat ataupun pulang kerja.
Saya ingat, dua sebutan untuk sepeda di Jogja. Yang pertama sepeda Ontel, sepeda menyerupai bentuk leher angsa dengan tulang-tulang yang kokoh berdiameter 2-3 cm. sepeda ontel ini terbagi pula dalam 2 jenis, ontel lanang (laki-laki) dan ontel wedok (perempuan).
Apa yang membedakannya?
Pada ontel lanang, pada bagian bawah tempat duduk (bak) terdapat sebuah besi yang menghubungkan bak dengan leher pada badan sepeda dibawah setang sepeda. Sehingga biasanya sepeda ini sangat enak digunakan untuk berpacaran masa itu karena sang perempuan akan biasa duduk menyamping didepan si laki-laki.
Sedangkan pada ontel wedok tidak memiliki pembatas, pada sepeda ini akan dipasang keranjang dudukan bagi anak kecil. Jenis yang kedua adalah sepeda jengki. Sepeda ini merupakan jenis sepeda cina. Dengan badan yang lebih ramping dan lebih ringan dibandingkan sepeda ontel.
Julukan Kota Sepeda yang dulu pernah disematkan kepada Jogja memang harus ditinjau ulang. Pesepeda kini terpinggirkan terkalahkan oleh laju dan klakson kendaraan bermotor.
Kondisi lalu lintas saat ini juga semakin tak bersahabat bagi pesepeda. Macet saat jam kerja, ruang tunggu sepeda yang diserobot motor ataupun jalan tak lagi menyisakan tempat bagi pesepeda.
Kondisi ini tentu sangat berbeda dengan beberapa tahun lalu, dimana sepeda masih punya ruang gerak yang cukup luas. Adanya jalur sepeda tak lagi menjadi bagian efektif dari kampanye menjaga semangat bersepeda untuk sekolah atau bekerja. Untuk itulah perlu keperpihakan nyata dari pemerintah kepada pesepeda.
Sebagai salah satu transportasi paling ramah lingkungan, sepeda harus dijaga eksistensinya. Harus ada kerjasama dari masyarakat dan pemerintah untuk menjaga “Kota Sepeda” tetap ada di Yogyakarta tercinta. Bukan kemudian tinggal nostalgia yang muncul akibat perubahan jaman dan ketidakpedulian pada sepeda.
Comments