STARJOGJA.COM, Yogyakarta – Praktek pungutan sekolah masih terjadi beberapa sekolah. Namun masih banyak pertanyaan soal tidak bolehnya praktek pungutan sekolah hanya di sekolah negeri. Namun Kepala ORI DIY Budhi Masturi mengatakan pungutan liar di sekolah ini berlaku di sekolah swasta maupun sekolah negeri.
“Seharusnya berlaku universal pelanggaran hal itu bisa untuk negeri atau swasta untuk siapa saja. Ada yang anggap itu sekolah di negeri padahal itu sama saja swasta juga. Ini aneh bisa dikatakan pungutan hanya di sekolah negeri ini bikin bingung di tengah masyarakat,” katanya kepada Starjogja 101,3 FM Selasa (25/6/2019).
Budhi memberi saran agar opsi pungutan di sekolah itu dihapus saja dari opsi pendanaan sekolah. Menurutnya, opsi sumbangan sukarela akan lebih baik daripada pungutan liar.
Baca juga : Sekolah Negeri Paling Banyak Lakukan Pungutan
“Sumbangan itu tidak ditentukan siapa saja yang sukarela. Saya yakin hasilnya lebih dari pungutan,” katanya.
Menurut Budhi pungutan dinyatakan syah jika ada dasar hukumnya, dilakukan oleh orang yang memiliki kewenangan untuk memungut. Namun menurutnya tidak ada dasar hukumnya untuk melakukan pungutan.
“Basis legitimasi pungutan itu bukan kesepakatan orang tua tapi peraturan hukum,” katanya.
Pungutan tetap terjadi karena beberapa hal, pertama pemerintah pusat mewajibkan standar guru tapi sekolah kurang guru dan mengajukan fromasi ke pusat namun tidak disetujui. Hal itu menjadikan sekolah merekrut orang dari luar sebagai guru honorer yang tidak bisa didanai pakai dana BOS.
“Alasan lainnya desakan orang tua yang punya ekspetasi agar anaknya dapat layanan lebih sehingga mereka dorong dengan adanya program dimana orang tua lainnya harus ikut, yang mungkin tidak setuju,” katanya.
Berbagai alasan inilah yang memungkinkan masih terjadi pungutan di sekolah. Selain itu pengawasan terhadap pungutan di sekolah dinilai masih kurang.
“Banyak penyebab itu yang kita cermati dan memang tampakanya peran pengawasan dinas pendidikan itu tidak cukup optimal, kami belum menemukan sanksi yang tegas kepada sekolah melakukan pungutan,” katanya.
Budhi menjelaskan sesuai dengan hasil kajian yang dilakukan tahun 2018 terhadap instrumen regulasi DIY antara lain perda no 10 tahun 2013 hasilnya tidak efektif karena pungutan tetap terjadi di SD hingga SMA khususnya negeri. Setelah ditelaah ternyata sekolah mengumpulkan dana itu tidak cukup dasar hukum maka pungutan selama ini merupakan pungutan tidak syah atau pungutan liar.
“Banyak sekolah yang tidak bisa membedakan misal sumbangan gedung tapi angkanya ditentukan kalo ga bayar tidak dikasihkan raport. Itu agak rancu. Sesuai pemerndikbud 44 tahun 2012 indikator angkanya ditentukan dan batas pelunasan ditentukan, dia akan jadi pungutan jika sifatnya wajib ada konsekuensi terhadap itu,” katanya.
Comments