Menjamurnya toko modern semakin memperpuruk pedagang pasar tradisional. Meski begitu, pemerintah belum bermaksud merevisi Peraturan Daerah (Perda) No.1/2012 tentang izin pusat perbelanjaan dan toko modern.
Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Puthut Indroyono menjelaskan, omzet pedagang pasar tradisional di Sleman menurun hingga 22,9% sejak menjamurnya toko-toko modern.
Pedagang yang paling dirugikan adalah mereka yang lokasi usahanya berdekatan dengan toko berjejaring tersebut dan objek dagangannya sama-sama dipasok dari satu pabrik.
“Berbeda dengan pedagang yang menjual barang mentah atau produk pertanian, seperi sayuran. Dampaknya tidak separah kelompok pedagang yang mengandalkan pasokan produk pabrikan,” kata Puthut kepada wartawan, Senin (18/4/2016).
Keterpurukan pelaku usaha toko klontong terjadi lantaran adanya kesamaan produk yang dijual toko modern ke konsumen. Kondisi tersebut, diperparah karena semakin suburnya keberadaan toko-toko modern.
“Setidaknya tiga permasalahan besar yang dihadapi di pasar tradisional. Mulai aspek modal material, modal intelektual dan modal sosial,” ujar Ketua Program Sekolah Pasar itu.
Dari aspek modal material, pedagang tradisional memiliki keterbatasan permodalan mulai dari finansial hingga teknologi. Sementara aspek modal intelektual, pedagang pasar tradisional memiliki keterbatasan dalam menjalankan bisnisnya. Adapun aspek modal sosial (institusional) juga tidak dimiliki pengusaha toko klontong.
“Banyak pelaku usaha yang tidak memiliki kemampuan dalam berorganisasi dan menjalin kerjasama untuk meningkatkan bisnis secara kolektif,” terang Puthut.
Sebagai solusinya, dia menawarkan agar pemerintah melakukan pembinaan manajeman kepada pedagang dan penguatan kelembagaan pedagang. Menurutnya, banyak koperasi (pedagang) tidak mencerminkan kerja sama sehingga diperlukan upaya untuk memajukan peranannya dalam pengelolaan pasar.
Comments