KULONPROGO – Sebagian besar lahan pertanian di wilayah Lendah dan Galur mulai mengalami kekeringan. Selain itu, kondisi lahan yang lebih tinggi dari sumber air, membuat lahan sulit dialiri air. Sukarman, 40, salah satu petani di Desa Nomoporejo, Galur mengungkapkan, sebagian besar areal persawahan mulai kering.
“Sekarang mulai tanam palawija. Sempat saya tanam kedelai, tapi karena kondisi tanah terlalu kering, hasilnya tidak memuaskan,” ujar Sukarman, Kamis (6/8/2015).
Sukarman mengatakan, tidak maksimalnya hasil panen kedelai diakibatkan karena kurangnya pasokan air. Hal itu ditambah dengan kondisi tanah atau lahan pertanian yang lebih tinggi dari sumber aliran air irigasi. Debit air untuk irigasi juga mulai berkurang, sehingga ladang menjadi tidak produktif.
Lebih lanjut Sukarman mengungkapkan, agar lahan dapat lebih rendah, banyak petani di daerah itu yang mencoba mengeruk tanah pertanian miliknya. Akibatnya, bongkahan-bongkahan tanah kadang kala terbengkalai, karena petani kesulitan membuang tanah yang dikeruk tersebut.
“Daripada tidak dipakai, bongkahan-bongkahan tanah ini dijual. Lagipula, bongkahan-bongkahan tanah ini banyak juga yang mencari,” jelas Sukarman.
Di musim kemarau seperti saat ini, banyak orang yang mendatangi petani atau pemilik lahan di areal persawahan. Kebanyakan dari mereka berencana membeli tanah untuk keperluan bangunan yakni sebagai tanah urug. Namun, ada juga yang kemudian dijual di sentra kerajinan gerabah dan batu bata.
Saryanto, salah satu pembeli mengungkapkan, pesanan permintaan tanah bongkahan di areal persawahan mengalami peningkatan di musim kemarau ini. Dia mengatakan, bongkahan tanah sawah itu dijual dengan harga di kisaran Rp75.000 hingga Rp100.000 per bak mobil pick up.
“Tergantung jarak tempuh dari pembelinya. Kebanyakan dipesan perajin-perajin gerabah dan batu bata. Setiap musim kemarau saya sudah biasa dapat pesanan macam ini. Petani juga banyak yang membutuhkan, karena mereka ingin lahannya bisa dialiri air,” jelas Saryanto.
Comments