STARJOGJA.COM, Info – Kasus kekerasan seksual berupa begal payudara kembali terjadi. Kali ini di kawasan Kalurahan Condongcatur, kapanewon Depok, Sleman. Meski kejahatan ini masuk kategori pencabulan, polisi sulit menerapkannya.
Kabid Humas Polda DIY, Kombes Pol Yulianto, mengatakan begal payudara dalam hukum termasuk dalam tindak pencabulan. Namun sayangnya pencabulan itu sendiri perlu memiliki unsur kekerasan untuk dijadikan bukti dengan visum.
“Sementara misal kalau hanya dipegang gitu tanpa ada bekasnya tentu tidak bisa. Visumnya tidak bisa menunjukkan kalau itu bekas dipegang dengan unsur kekerasan. Jadi ya memang sulitnya di situ,” ungkap Yulianto, Selasa (16/3/2021).
Baca juga: Begal Payudara dan Istimewanya Pariwisata Jogja
Meski demikian, ia menegaskan korban bisa melaporkan apa yang menimpanya sebagai perbuatan yang tidak menyenangkan. Saat melapor, korban disarankan mendatangi unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) di Polres Sleman atau Polda DIY.
“Kalau di PPA itu kan yang menangani polwan sehingga tidak canggung untuk menyampaikan apa yang dialami,” katanya.
Ragu Melapor
Korban begal payudara kembali terjadi di Kalurahan Condongcatur, kapanewon Depok mengalami trauma psikis dan fisik, tetapi masih ragu untuk melapor ke polisi lantaran minimnya bukti.
Korban begal payudara berinisial MCR, perempuan 28 tahun yang mengekos di padukuhan Manukan, tak jauh dari tempat kejadian. Kepada wartawan ia menjelaskan ia menjadi korban begal payudara pada Kamis (11/2/2021). “Sekitar jam 10.00 WIB, waktu itu mau keluar cari minum. Kebetulan saya jalan kaki,” ujarnya, Selasa (16/3/2021).
Saat sedang berjalan kaki, ada pengendara motor yang mendekati korban lalu tiba-tiba melancarkan perbuatan mesumnya. Meski tidak begitu jelas melihat, ia menuturkan ciri pelaku yakni menggunakan motor matic dengan suara knalpot yang lebih kencang, nomor polisi depannya AB dan belakangnya TI, menggunakan helm full face dan jaket warna krem.
Akibat kejadian tersebut MCR mengalami trauma tidak berani keluar kos. Baru pada Senin (15/3/2021) ia mencoba memberanikan diri keluar kos untuk berangkat ke kantor, namun akhirnya kembali mengurungkan niatnya dan kembali masuk kos. “Udah jalan pulang, putar balik lagi saya. Kok takut ya,” ungkapnya.
Trauma tersebut tidak hanya berdampak pada psikis, tapi juga sampai mempengaruhi kondisi fisiknya. Ia menceritakan pasca kejadian sempat masuk instalasi gawat darurat (IGD) lantaran asam lambung naik, tidak bisa makan dan muntah-muntah. “Sempat masuk IGD dua hari setelah kejadian, soalnya trauma,” katanya.
Ia berniat melaporkan kejadian ini ke polisi, namun masih ragu-ragu karena minimnya bukti. Dari usaha pencariannya, tidak ada CCTV di sekitar lokasi yang merekam kejadian itu. “Korban pelecehan seksual kan serba salah, buktinya apa gitu. Pasti akan selalu ditanya buktinya apa, terus korban yang menerima victim blaming dan segala macem,” kata dia.
Sumber : Harianjogja
Comments