STARJOGJA.COM, Info – Pemimpin militer atau panglima Myanmar mendeklarasikan dirinya sebagai perdana menteri dan akan memimpin negara di bawah keadaan darurat sampai pemilihan umum diadakan dalam waktu dua tahun. Pengumuman itu merupakan perubahan dari pernyataan ketika militer menggulingkan Aung San Suu Kyi enam bulan lalu yang menyatakan akan segera menyerahkan kekuasaan dan menggelar pemilu.
“Kita harus menciptakan kondisi untuk mengadakan pemilihan umum multipartai yang bebas dan adil,” kata Jenderal Min Aung Hlaing dalam pidato yang direkam di televisi tadi malam seperti dikutip TheGuardian.com, Senin (2/8/2021).
Dia mengatakan persiapan harus dilakukan dan dirinya berjanji untuk menjamin keberhasilan pemilihan umum multipartai. Dia mengatakan keadaan darurat militer akan mencapai tujuannya pada Agustus 2023. Dalam pengumuman terpisah, pemerintah militer menyebut dirinya “pemerintah sementara” dan Min Aung Hlaing sebagai perdana menteri. Pengumuman jenderal itu akan menempatkan Myanmar dalam cengkeraman militer selama hampir dua setengah tahun, bukan satu tahun pertama sebagaimana diumumkan junta beberapa hari setelah kudeta.
Baca Juga : Indonesia Desak Militer Myanmar Soal Penangkapan Aung San Suu Kyi
Keadaan darurat diumumkan ketika pasukan bergerak melawan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi pada 1 Februari, sebuah langkah yang menurut para jenderal diizinkan berdasarkan konstitusi 2008 yang dibuat oleh militer. Militer mengklaim kemenangan pemilu itu dicapai melalui penipuan pemilih besar-besaran, tetapi tidak memberikan bukti yang kredibel.
Pemerintah militer secara resmi membatalkan hasil pemilihan Selasa lalu dan menunjuk komisi pemilihan baru untuk memimpin pemilihan umum. Pengambilalihan militer itu disambut dengan protes publik besar-besaran, yang mengakibatkan tindakan keras mematikan oleh pasukan keamanan yang secara rutin menembakkan peluru tajam ke kerumunan.
Hingga kemarin sedikitnya 939 orang telah dibunuh oleh pihak berwenang sejak 1 Februari, menurut penghitungan yang disimpan oleh Asosiasi Bantuan independen untuk Tahanan Politik. Korban juga meningkat di kalangan militer dan polisi ketika perlawanan bersenjata tumbuh di daerah perkotaan dan pedesaan. Sementara itu, Human Rights Watch mengatakan militer telah melakukan banyak pelanggaran terhadap warga sipil dan kejahatan terhadap kemanusiaan sejak kudeta.
“Kami telah melihat tindakan keras yang meluas di seluruh negeri yang tampak terkoordinasi dan sistematis,” kata Manny Maung, peneliti Myanmar untuk Human Rights Watch.
Sumber : Bisnis
Comments