Layanan kesehatan di Gunungkidul memprihatinkan akibat kekurangan dokter dan terbatasnya alat kesehatan (alkes). Padahal jumlah pasien melonjak berkali lipat setelah penerapan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Kondisi layanan kesehatan di Gunungkidul diungkapkan sejumlah dokter yang menggelar audiensi dengan DPRD setempat pada Senin (24/10/2016). Puluhan dokter itu tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Gunungkidul. Mereka membeberkan tidak memadainya jumlah dokter dan kondisi sarana kesehatan di wilayah ini menghadapi lonjakan pasien JKN.
“Rasio antara pasien yang harus dilayani dengan penghargaan yang didapat tidak proporsional. Kalau satu dokter rata-rata harus melayani 50 sampai 100 pasien satu hari ya kewalahan,” ungkap Sekretaris IDI Gunungkidul Ida Rokhmawati, Senin seusai audiensi.
Menurut Ida, sejak JKN-BPJS diterapkan, jumlah pasien melonjak lebih dari dua kali lipat. Beban dokter yang semakin berat tersebut menyebabkan tidak terpenuhinya layanan kesehatan lainnya yang sejatinya menjadi tugas dokter. Misalnya peran dokter sebagai agen pembangunan melalui kegiatan promosi kesehatan. “Dokter ini tidak hanya agen pengobatan, tapi juga agen perubahan dan pembangunan,” ujar dia.
Anggota Dewan Pakar IDI Gunungkidul Dewi Irawati mengatakan, rata-rata puskesmas di Gunungkidul hanya memiliki satu hingga dua dokter. “Yang punya tiga dokter hanya satu apa dua puskesmas,” ungkap Dewi. Padahal pasien yang harus dilayani dalam sehari mencapai hingga ratusan orang.
Kurangnya dokter mengakibatkan layanan 24 jam tidak dapat diberlakukan di puskesmas. Padahal, pasien sakit yang membutuhkan perawatan atau rujukan ke rumah sakit tidak mengenal waktu. Belum lagi persoalan ketersediaan sarana prasarana seperti alat kesehatan. Bahkan kata Dewi, untuk penyakit umum seperti Demam Berdarah (DB), tidak smeua puskesmas dapat menanganinya karena tidak adanya laboran atau analis. Bhekti Suryani/JIBI/Harian Jogja |
Comments