Medium perekam suara dalam bentuk vinyl atau piringan hitam kembali berjaya. Hal ini ditandai dengan sejumlah musisi dalam negeri yang tidak segan-segan merekam lagunya dalam cakram jenis plastik ini.
Meski pasar menerima medium perekam suara piringan hitam, perusahaan rekaman tetap harus jeli memilih band yang karyanya layak direkam dalam piringan hitam. Begitu pula, mereka menerapkan strategi khusus dalam memasarkannya.
Project Manager Demajors, Anthono Oktoriandi, menjelaskan tantangan memproduksi album piringan hitam terletak pada pemilihan materi. Sebab, tidak semua lagu cocok untuk diproduksi dalam format piringan hitam. Perusahaan rekaman harus jeli untuk memilih lagu mana yang cocok untuk kami produksi dalam piringan hitam.
Demajors mempertimbangkan karakter suara ketika memilih lagu dalam format piringan hitam. Karakter piringan hitam adalah suara yang terdengar lebih hangat dan dalam. Adapun, jika karakter suaranya lebih cerah dan terang, maka tidak cocok dalam piringan hitam.
Basis penggemar band tersebut juga menjadi pertimbangan pasar. “Misalnya, kenapa memilih NAIF, karena kami melihat karakter penggemar mereka menyukai hal-hal yang berkaitan dengan retro. Berbeda jika kami melihat Tulus. Tulus memang memiliki basis penggemar kuat, tetapi mereka adalah anak muda yang lebih dekat dengan digital. Jika kami mencetak piringan hitam album Tulus, maka tidak sebanyak piringan hitam album NAIF,” tuturnya.
Anthono berpendapat pasar piringan hitam sangat tersegmentasi. Materi-materi tersebut menjadi barang koleksi dan ditujukan kepada penggemar fanatik dari band atau artis yang materinya diproduksi dalam piringan hitam tersebut. Oleh karena itu, Demajors tidak pernah memproduksi piringan hitam secara massal.
Demajors banyak menggunakan media sosial sebagai sarana mempromosikan produk piringan hitam karena lebih dekat kepada penggemar.
Selain melalui media sosial, perusahaan rekaman juga menyelenggarakan gathering atau meet and great sebagai ajang mempromosikan album piringan hitam band tersebut.
Comments