STARJOGJA.COM, JOGJA – Masyarakat diharapkan terus waspada terhadap keberadaan perlintasan sebidang. Waspadai Pontensi Kecelakaan di Perlintasan Sebidang. Sederhananya perlintasan sebidang dideskripsikan sebagai titik pertemuan antara jalan raya dan jalur perlintasan kereta api.
Krisbiyantoro, Manager Humas KAI Daop VI Yogyakarta mengatakan perlintasan kereta api biasanya muncul dari perkembangan kondisi lingkungan masyarakat.
“Perkembangan masyarakat saat ini misalnya perumahan baru bisa mengakibatkan timbulnya perlintasan sebidang karena memang akses yang akan dilalui mau tidak mau akan melewati jalur kereta api. Kemudian, akses masyarakat yang lebih kecil seperti kampung untuk menuju ke arah seberang harus melewati perlintasan kereta api ”, ujarnya kepada STAR FM.
Walaupun nampak umum digunakan, perlintasan sebidang sebenarnya tidak diharapkan terjadi oleh pihak PT KAI. Hal ini berkaitan dengan hasil identifikasi mereka jika perlintasan sebidang menjadi titik rawan dari perjalanan kereta. Maka, dibutuhkan Analisis Dampak Lalu Lintas (Andalalin) dari pemda ketika akan membangun pemukiman, perumahan, atau tempat industri.
Menurut jenisnya, perlintasan sebidang dibagi menjadi tiga yakni, perlintasan yang dijaga, perlintasan yang tidak dijaga, dan perlintasan liar. Perlintasan yang tidak dijaga dengan perlintasan liar pun memiliki perbedaan tersendiri.
“Nah liar dan tidak dijaga itu ada perbedaannya, kita mengatakan tidak dijaga itu perlintasannya sudah terdaftar tapi tidak dijaga, kalau perlintasan liar itu yang tiba-tiba muncul akses jalan yang semakin meluas hingga menjadi akses kendaraan”, jelas Krisbiyantoro.
Perlintasan sebidang di wilayah Daop VI Yogyakarta terbentang dari Stasiun Jenar di sebelah barat, Stasiun Banteng di sebelah timur, kemudian daerah Goprak, dan Wonogiri di sebelah selatan. Total dari perlintasannya adalah 301 dengan jumlah yang dijaga sebanyak 138, sedangkan yang tidak dijaga 150, dan yang liar berjumlah 13.
Menanggapi kondisi tersebut, PT KAI memiliki tindakan untuk menutup perlintasan sebidang yang kurang dari dua meter. Hal itu bahkan dapat dilakukan secara sepihak dari PT KAI sendiri, berdasarkan dirjen perkeretaapian dibawah kementerian perhubungan. Walaupun begitu, aturan tersebut masih sulit direalisasikan di lapangan.
“Hal itu tidak mudah dilakukan, warga yang menggunakan akses itu sering kali mengalami penolakan, jadi masyarakat itu memiliki keinginan sendiri entah mewakili warga desa setempat dengan alasan perekonomian, pendidikan, sosial”, ungkap Krisbiyantoro kepada Star FM.
Krisbiyantoro turut mengharapkan bahwa kedepannya PT KAI dapat mengurangi keberadaan perlintasan sebidang dengan membuatnya di flyover atau underpass. Namun, hal ini juga masih terkendala anggaran, luas lahan, dan ide pemikiran.
Penulis : Rossa Deninta
Comments