STARJOGJA.COM,JOGJA – Laki-laki juga mengalami stereotip di masyarakat. Diantaranya adalah Laki-laki enggak boleh menangis, laki-laki harus kuat, laki-laki harus pemberani, laki-laki itu harus menjadi tulang punggung keluarga. Sementara perempuan direpresentasikan sebagai sosok yang lemah lembut, jadi ibu rumah tangga.
Koordinator Nasional Aliansi laki-laki Baru, Saeroni mengatakan perempuan dan laki-laki semestinya saling melengkapi terutama dalam rumah tangga.
Saeroni juga mengatakan toxic masculinity kini menjadi sebuah fenomena di tengah masyarakat. Toxic masculinity merupakan suatu tekanan budaya bagi kaum pria untuk berperilaku dan bersikap dengan cara tertentu.
Kondisi ini umumnya dikaitkan dengan nilai-nilai yang dianggap harus ada di dalam diri seorang pria, misalnya pria harus menunjukkan kekuatan, kekuasaan, dan pantang mengekspresikan emosi.
Menurut dia, maskulinitas sebenarnya hal yang baik dan wajar, namun bisa menjadi toxic juga ada tuntutan bahwa laki-laki harus kuat dan jangan menunjukan kelemahan. Laki-laki juga mengalami stereotip di masyarakat
“Kondisi ini bisa berdampak pada kesehatan mental laki-laki. Hanya karena harus terlihat kuat, sehingga laki-laki menahan tangis untuk mengungkapkan perasaan. Atau terkadang tidak ingin minta tolong ketika sebenarnya membutuhkan pertolongan. Ini dampak konstruksi bahwa laki-laki lemah itu dianggap tabu,” katanya.
Toxic masculinity tidak hanya berdampak pada laki-laki sendiri namun juga berdampak pada keluarga dan lingkungan karena bisa berperilaku kasar dan ingin mendominasi orang lain terutama dari perempuan. Selain itu juga berdampak pada keberlangsungan rumah tangga, karena ingin mendominasi istri.
Lebih lanjut Saeroni mengatakan memang saat ini mulai digencarkan tentang kesetaraan gender baik dalam rumah tangga maupun ruang publik. Namun ternyata setelah perempuan tampil di ruang publik baik di pemerintahan, politik, maupun di tempat kerja, ia harus juga mengurus rumah tangga sehingga pekerjaannya menjadi ganda. Pemicunya bisa bermacam, salah satunya karena ego suami yang dianggap tabu kalau harus mengerjakan pekerjaan domestik. pemahaman itu perlu direkonstruksi kembali untuk keseimbangan.
Menurut dia pada intinya adalah saling memahami dan komunikasi antara suami dan istri di keluarga. “Perempuan harus memahami laki-laki juga memahami. Perbedaan terkait fungsi kewajiban tanggung jawab gender baik pria dan perempuan, kemudian saling mengapresiasi,” katanya.
Senada, Anggota DPRD DIY, Stefanus Christian Handoko mengatakan terkadang masih muncul stigma di masyarakat bahwa Stigma perempuan itu lemah, tak perlu jadi bagian dalam keluarga. Kemudian juga mucnul ego laki-laki, laki harus kuat tahan banting sehingga tidak perlu mengeluh. Ia mengatakan kesetaraan gender harus dimulai dari keluarga
“Kesetaraan gender dalam rumah tangga sebenarnya tidak hanya dilihat dari sisi finansial dan karir istri dan suami. Tapi juga dalam hal melakukan pekerjaan rumah tangga untuk saling berbagi peran,” katanya.
Selain itu kunci dalam membangun rumah tangga yang harmoni juga dibutuhkan membangun komunikasi yang baik. “Kat bertahan lama dalam keluarga kuncinya menahan egonya masing-masing dan menjaga komunikasi,” ucapnya.
Sementara itu ia memastikan untuk instrumen kesetaraan gender di DIy sudah ada baik dari regulasi, kebijakan, maupun penganggaran. Salah satu regulasi yang diluncurkan adalah Peraturan Daerah No.4/2023 mengenai pengarusutamaan gender, beberapa pasal diatur terkait kebijakan seperti fasilitas publik responsif gender.
Comments