STARJOGJA.COM.JOGJA – Banyak nilai-nilai keistimewaan DIY yang bisa memutus lahirnya Sandwich Generation. Hal itu bisa dilakukan dengan menerapkan budaya gotong-royong, tolong menolong dan sebagainya.
Kepala Sub Bidang Perencanaan Urusan Kebudayaan Paniradya Kaistimewaan Eri Nurhayati menjelaskan soal keistimewaan DIY yang beragam mulai dari tata bahasa, adat istiadat hingga keberadaan Kraton Ngayogyakarya yang menjadi salah satu sumber keistimewaan DIY.
“Budi pekerti di Jogja juga berbeda dengan daerah yang lain. Saat ini juga dikembangkan pendidikan karakter khas Jogja. Saat ini sedang dicetak di Dinas Pendidikan DIY. Ini buku panduan yang diharapkan bisa membangun karakter khas Jogja khususnya pelajar Jogja,” katanya.
Eri menyebut ada tiga karakter pendidikan di Jogja yang ditekankan seperti permisi, maaf dan terimakasih. Ketiganya menjadi karakter dasar yang ditanamkan dan akan dikembangkan lagi.
“Harapannya dengan kekhasan itu nantinya bisa dikembangkan lagi. Di Jogja juga ada sumbu filosofi yang sudah ditetapkan oleh UNESCO dan ini akan menambah khasanah keistimewaan DIY,” katanya.
Analis Perlindungan Perempuan DP3AP2 DIY Sri Kumala mengatakan sejatinya segala bentuk kebudayaan di masyarakat mengandung nilai-nilai yang baik. Namun dalam perjalanannya, terkadang ada budaya yang dijalankan justru menimbulkan salah kaprah.
“Karena mungkin tidak sesuai konteksnya atau disamaratakan, digebyah uyah semua sama, kemudian menimbulkan masalah,” katanya.
Dia mengatakan Keistimewaan Jogja tidak lepas dari budaya yang dilestarikan oleh masyarakat. Belum lama ini, katanya, sempat viral di media sosial di mana kemiskinan di Jogja tertinggi di Pulau Jawa namun indeks kebahagiaan di Jogja juga paling tinggi. Kondisi tersebut dinilai unik karena proses kebudayaan yang dijalankan masyarakat Jogja.
“Terus ada yang menjelaskan (kemiskinan tinggi di Jogja) karena warga Jogja nrimo ing pandum, jadi meskipun miskin tetap bahagia. Nah, ketika budaya itu digebyah uyah, disamaratakan, ternyata menimbulkan masalah,” katanya.
Dia menyontohkan soal konsep berbakti kepada orang tua. Konsep tersebut menimbulkan masalah ketika si anak ternyata tidak mampu melakukan apa yang di luar kemampuannya. Maka, kata Mala, lahirlah Sandwich Generation.
“Ada juga konsep banyak anak banyak rejeki, akhirnya ada mindset yang berkembang, mereka memandang anak-anak sebagai aset. Nah ketika orang tua hanya memandang anak sebagai aset akan menimbulkan masalah. Karena anak-anak ini merasa punya beban yang lebih, tanggungjawab yang lebih, yang akhirnya menimbulkan keadaan Sandwich Generation tadi,” katanya.
“Karena anak harus menanggung adik-adiknya karena konsep itu. Ya karena anak harus berbakti kepada orang tua, harus ngasih bapak, ngasih ibu, karena ayah ibunya sudah membesarkan kalian sekarang gantian sudah gede menafkahin ibu bapaknya, adik-adiknya juga,” katanya.
Diapun mengatakan, banyak nilai-nilai keistimewaan DIY yang bisa memutus lahirnya Sandwich Generation. Hal itu misalnya, bisa dilakukan dengan menerapkan budaya gotong-royong, tolong menolong dan sebagainya.
Menanggapi hal itu, Eni mengakui jika budipekerti seperti menghormati dan patuh kepada orang tua di sisi lain hal itu menimbulkan masalah. Meski begitu, sifat menghargai, unggah ungguh, selalu mengayomi, tetap menjadi bagian dari kebudayaan dan ditekankan bagi masyarakat Jogja.
“Apakah berbaktinya itu kebangetan atau tidak sehingga di luar kemampuan sang anak. Tapi di sisi lain, juga menjadi perang batin bagi si anak. Jadi nrimo in pandum juga harus rasional. Bagaimana orang tetap harus bekerja, meningkatkan perekonomian, tetap menciptakan harmonisasi dalam rumah tangga, karena itu salah satu budaya yang kami unggulkan di Jogja,” katanya.
Psikolog Klinis UPT PPA Kota Jogja Devi Riana Sari menilai dari sudut pandang psikologi terkait dengan people pleaser. Menurutnya, people pleaser itu tidak bisa diagnosa secara medis atau diukur dengan medis. Fenomena tersebut, katanya, lahir karena orang yang selalu ingin membantu dan membahagiakan orang lain namun menegasikan dirinya sendiri.
“Dalam dinamikanya people pleaser ini tumbuh dari rasa tidak aman yang terbentuk dari masa lalunya, yang berangkat dari pola asuh orang tua yang otoriter. Saat kecil, anak tidak diberi ruang untuk mengemukaan pendapat. Orang tua menuntut segala sesuatu pada anaknya tanpa meminta si anak menjelaskan,” katanya.
Dampak dari perilaku tersebut, lanjut Devi, membuat si anak berfikir kebahagiaan orang ternyata lain lebih penting dari kebahagiaan diri sendiri. “Karena sejak kecil, dia meniadakan dirinya dan fokus kepada orang lain, maka pola seperti ini justru menjadi karakteristik yang pada kemudian hari bisa menimbulkan masalah bagi si anak,” katanya
Pasalnya, lanjut Devi, people pleaser membuat orang tidak lagi memandang dirinya penting. Pandangan itu akan membawa dampak cukup signifikan secara psikologis.
“Dia akan merasa cemas kalau ada ajakan yang tidak dilakukan. Padahal ajakan itu bertolak belakang dengan kemampuannya. Dia hanya fokus ke orang lain dan menegasikan dirinya. Ini bisa melahirkan frustasi dan putus asa,” katanya.
Cara mengatasinya, kata Devi, orang harus memahami dirinya sendiri. Meski ada kebahagiaan atau kebanggaan bisa membantu orang lain, namun hal itu bisa menjadi boomerang kepada dirinya sendiri.
“Untuk membahagiakan orang lain, bukankah harus membahagiakan diri sendiri. Kalau sudah menghargai diri sendiri baru ke orang lain. Itu kuncinya,” katanya.
Comments