“DIY tidak punya pembangkit. Kita importir energi, sumber energi fosil tidak punya, pembangkit listrik juga tidak punya. Murni disuplai PLN dan Pertamina,” katanya kepada Starjogja.com Rabu 23 Oktober 2024.
Walaupun begitu, di tengah minimnya pembangkit, Bumi Mataram merujuk pada DIY, tidak lantas diam diri untuk menghasilkan energi. Bahkan Pemda DIY memiliki 2 aturan tentang energi baru terbarukan (EBT), yaitu Perda DIY no 15 tahun 2018 dan Perda nomor 6 tahun 2020 tentang rencana umum energi daerah tahun 2020 hingga 2050.
“Perda DIY 15 tahun 2018 terkait energi baru terbarukan, ini setahu saya, satu satunya daerah yang punya Perda khusus terkait energi baru terbarukan di Indonesia,” katanya.
Tidak hanya itu, Pemda DIY juga sudah memiliki target terkait bauran energi di tahun 2025 yaitu di angka 6,6% dan tahun 2050 di angka 8,8%. Target ini terhitung kecil, karena potensi EBT di DIY sangat terbatas, buktinya Independent Power Producer (IPP) atau entitas swasta yang bergerak produksi energi khususnya di listrik yang dijual ke PLN hanya di Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Semawung, Kulonprogo, DIY.
“Dari sisi pemanfaatan EBT secara keseluruhan berbasis komunitas, yang kami bangun dari Pemda atau dari masyarakat, CSR itu cukup banyak. Itu dibuktikan dari capaian bauran energi di DIY tahun 2023 yang mencapai 6,91%. Artinya dari sisi target indikator tadi, sudah melampaui, hanya tinggal maintenance,” katanya.
Leo mengatakan Bumi Mataram memiliki banyak potensi alam yang dapat dimanfaatkan untuk energi. Seperti potensi energi angin atau bayu di DIY yang mencapai sekitar 100 MW.
“Itu (energi bayu) pemanfaatannya masih kecil, PLT hybrid di Pantai Baru, Bantul itu 65 kw, itu dipakai warung wisata, itu milik kami. Jadi tahun 2010 layanan listrik di sana belum masuk, akhirnya muncul inovasi membangun pembangkit energi baru terbarukan bayu kombinasi solar panel,” ujarnya.
Leo menjelaskan potensi energi lainnya Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) ampas tebu Pabrik Gula Madukismo Bantul. Namun pemanfaatannya hanya untuk pabrik itu saja.
“Tidak untuk keluar (pabrik) itu tapi dikonsumsi pabrik itu sendiri, itu sekitar 3,8 MW,” katanya.
Potensi energi air atau hidro, DIY memiliki PLTMH Semawung, Kulonprogo. Selain itu Pemda juga membangun 3 PLTMH lainnya yang dikelola masyarakat.
“Kami punya ada tiga PLTMH yang kami bangun, skala lebih kecil dari Semawung, masih dikelola masyarakat secara komunitas sebagai sumber listrik pendamping dari sumber PLN,” katanya.
Terkait biomassa ini PLN Energi Primer Indonesia, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Pemda DIY sepakat menandatangani nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) untuk pengembangan kawasan ekonomi hijau dengan penanaman pohon indigofera dan kaliandra merah di Gunung Kidul. Program ini menjadi pilot project dalam program co-firing biomassa di PLTU.
“Memanfaatkan lahan di sekitar Kecamatan Ponjong untuk tanaman sumber biomassa. Warga di sana kebanyakan peternak yang kesulitan pakan ketika musim tertentu, Keraton punya lahan, PLN EPI punya teknologi, ada beberapa bidang tanah yang bisa dimanfaatkan banyak pihak. Daunnya untuk peternakan dan batangnya pohonnya bisa dicacah sebagai co firing di PLTU Pacitan. Ini masuk EBT tapi masuk bauran itu masuk di Jatim karena pembangkit di sana,” katanya.
Menurutnya pertumbuhan paling pesat pemanfaatan EBT di DIY ada pada solar panel atau energi surya. Hal ini terlihat dari data tahun 2008 sampai 2018 yang masih kurang dari setengah megawatt pemanfaatan solar panel.
“Tapi di tahun 2024 kebijakan dari Kementerian ESDM bisa melesat 3,87 MW naik 8 kali lipat dalam jangka waktu 5 tahun. Masyarakat sudah teredukasi dan kontribusi mendukung transisi energi,” katanya.
Pemanfaatan energi surya ini menurut Leo sebaran paling besar ada di Kabupaten Sleman, Kabupaten Gunungkidul, Kota Jogja dan Kabupaten Bantul. Bahkan terkini ada dari lembaga pendidikan baik sekolah maupun kampus di DIY berlomba-lomba menggunakan PLTS ini.
“Kantor Pemda ada 10 gedung kantor di DIY yang menggunakan PLTS, tapi baru satu yang on grid dari PLN, lainnya masih off grid. Ada kantor kelurahan sudah mulai paham potensi EBT yang mereka manfaatkan, ada di Kepek, Wonosari, Gunungkidul dan Ngaglik, Sleman, walaupun hanya untuk penerangan. Ada Puskesmas juga di Panggang, Gunungkidul dan Puskesmas Paliyan, Gunungkidul dan dayanya lumayan,” katanya.
Leo mengatakan potensi yang dimiliki DIY lainnya adalah biogas. Potensinya mencapai 15 ribu unit, untuk realisasi hingga tahun ini mencapai 2010 unit sebagian besar biogas ternak..
“Dimanfaatkan para peternak sebagai alternatif elpiji 3 kg yang waktu itu distribusinya belum sebaik sekarang dan itu tersebar mayoritas di Pakem Sleman dan Kulon progo dan Bantul,” katanya.
Banyaknya potensi ini menurut Leo Pemda DIY tidak bisa berdiri sendiri. Menurutnya harus ada kolaborasi atau kerjasama untuk memaksimalkan potensi yang ada.
“Potensial sekali, tapi untuk daya besar output bersinergi dengan PLN ini memang ada regulasi lain yang mengatur, kalau Pemda mandiri sendiri tidak
mampu harus ada investor,” katanya.
Fandi G Sianipar Manager Sub Bidang IPP dan Excess Power PT PLN UID Jateng DIY mengatakan PLN yang menjadi lokomotif dalam transisi energi, pada tahun 2020 melakukan Transformasi dengan aspirasi PLN yaitu Green, Lean, Innovative, dan Customer Focused. Green ini menjadi lokomotif terdepan untuk transisi energi Indonesia menjadi lebih hijau.
“PLN ada Moonshot PLN yaitu inisiatif program transformasi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) ada Growth Moonshot, Digital Moonshot, NZE (Net Zero Emission) Moonshot, Launchpad Moonshot. Net Zero Emission ini PLN menegaskan PLN menjadi garda terdepan mendukung transisi energi di Indonesia,” katanya.
Fandi mengatakan untuk mendukung transisi energi ini setidaknya ada 29 inisiatif strategis energi untuk penggunaan EBT dan upaya mendukung net zero emission di tahun 2060. PLN berupaya mengembangkan bisnis baru dalam mendukung ekosistem transisi energi dengan mengembangkan ekosistem kendaraan listrik dan electrifying agriculture.
“29 inisiatif itu diantaranya adalah digital power plant, digital procurement, carbon neutral tahun 2060,” katanya.
Fandi mengatakan di DIY bisnis kendaraan listrik tumbuh dari tahun ke tahun, sehingga DIY memberikan 11 layanan pengisian listrik dan 2 lokasi stasiun penggantian baterai. Fandi menjelaskan nantinya akan ada penambahan 8 Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) sehingga total 19 SPKLU.
“Tahun 2023 hingga 2024 Juni ada pertumbuhan penggunaan kendaraan listrik. 2023 roda dua ada 1.362 unit, sampai 2024 data Juni ada 2.327 unit. Roda empat tahun 2023 ada 257 unit dan naik 456 di tahun 2024. Semua naik dua kali lipat,” katanya.
Selain itu, Fandi mengatakan berdasarkan data sampai akhir triwulan tiga 2024 rasio elektrifikasi di DIY mencapai 99,99% dengan capaian rasio desa berlistrik 100 %. Fandi mengatakan secara pasokan listrik untuk DIY termasuk aman yang masuk dalam sistem interkoneksi Jawa, Madura, Bali.
“Seluruh desa sudah berlistrik, ada beberapa masyarakat belum menyambungkan listrik secara langsung yaitu masyarakat dengan kondisi khusus, secara pasokan listrik itu sudah terjangkau semua,” katanya.
PLN juga memiliki super apps yaitu PLN Mobile yang semua pelanggan dapat melakukan transaksi maupun kritik saran di aplikasi tersebut. Termasuk jika masyarakat Yogyakarta mau pasang panel surya di rumahnya.
“Permen ESDM no 2 tahun 2024, dipasang di atap rumah atau bagian rumah lainnya, skemanya pelanggan ingin melakukan pendaftaran bisa lewat PLN mobile pengajuan di sistem, akan ada evaluasi persetujuan perizinan, jika memenuhi persyaratan dan sesuai ketentuan maka akan dilakukan pemasangan,” katanya.
Terkait pembangkit listrik, di DIY baru memiliki PLTMH Semawung yang memasok dayanya ke PLN. Walaupun kecil namun Pemda DIY sudah memanfaatkan energi baru terbarukan.
“DIY sistem 20 kv, Jateng DIY mengurusi 20 kv, untuk DIY pembangkit yang memasok ke jaringan PLN itu baru PLTMH Semawung di Kulonprogo yang memasok ke kami. Dayanya 0.6 MW on gred tersambung ke kita,” katanya.
Nur Hidayanto Koordinator Perencanaan Distribusi Tenaga Listrik Kementerian ESDM menyebut sesuai dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN), target bauran energi baru terbarukan (EBT) di tahun 2025 adalah 23%. Berdasarkan data semester satu infrastruktur penyediaan tenaga listrik saat ini Indonesia secara kumulatif total kapasitas pembangkit mencapai 93 Gigawatt yang terdiri dari fosil 85% dan energi baru terbarukan 15%.
“Posisi pembangkit sudah menyebar merata di seluruh Indonesia. Untuk daerah yang terisolir 3T masih menggunakan pembangkit fosil seperti Pembangkit Listrik Tenaga Diesel untuk daerah 3T tadi,” katanya.
Nur mengatakan secara distribusi tenaga kelistrikan sudah merata. Namun untuk pemanfaatan EBT, menyesuaikan dalam perencanaan energi setempat memaksimalkan potensinya seperti surya atau air.
“Kalau angin kita lihat lokasi yang memungkinkan potensinya,” katanya.
Nur mengatakan untuk mencapai EBT pemerintah harus berkolaborasi menghadapi kendala yang ada. Memaksimalkan EBT ada ketentuan produknya berkaitan dengan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN).
“Kemarin ada sinergi dengan Kemenperin ada tahapan yang implementasikan dari EBT, saat ini masih EBT dari luar,” katanya.
Menurut Nur potensi yang paling besar untuk EBT di Indonesia adalah matahari. Selain itu ada tenaga angin yang memiliki beberapa catatan di beberapa lokasi dapat dikonversi.
“Hydro atau air negara punya potensi air. Bio energi dari tumbuhan bisa dikonversi. Laut, masih eksperimen, lalu ada panas bumi,” katanya.
Sementara untuk rasio elektrifikasi basis rumah tangga atau persentase rumah tangga yang mendapatkan listrik di semester satu sudah 99,81 %. Nur menjelaskan sebenarnya target 100% akan terjadi di tahun 2024 ini, namun masih ada beberapa titik lokasi wilayah yang harus dipastikan.
“Secara aksesnya, mendapatkan akses tapi pelayanannya masih perlu ditingkatkan, layanan bisa dimanfaatkan sekitar 6, 12 atau 24 jam. Kita berharap dimaksimalkan akses dari PLN keandalan untuk memberikan layanan listrik. Dari sumber PLN masih 98,41% untuk akses PLN,” katanya.
Sumber energi yang dari panas bumi yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Indonesia salah satunya ada di Geodipa Dieng. Henky Irawan Production Manager Geodipa Unit 1 Dieng mengatakan pembangkit listrik tenaga panas bumi ini beroperasi 2002 dengan dua lokasi yaitu Dieng dan Bandung dengan potensi masing masing mencapai 400 MW.
“Masih ada 7 unit lagi yang harus kami bangun. Unit kedua bisa menyelesaikan uap panasnya, kita sedang tahap pengadaan untuk pembangkitnya, target kami di 2027 sudah bisa berkontribusi di unit 2 dengan kapasitas 55 MW seperti unit 1,” katanya kepada starjogja.com.
Hengky mengatakan energi panas bumi ini memang tidak 100% tanpa limbah namun kecil sekali presentasi limbahnya. Karena tidak ada pembakaran dalam proses pembangkitan listrik.
“Uap alami dari perut bumi dengan kedalaman 2-3 km. Uap yang kami gunakan untuk memutar turbin dan generator, kita kondensasikan uap, kita balikin uap jadi air, cair kembali. Nah air ini kita masukin lagi ke perut bumi melalui sumur injeksi, termasuk renewable, aliran dipanaskan lagi, kita manfaatkan lagi,”katanya.
Hengky mengatakan untuk Dieng dengan potensi 400 MW dengan perkiraan 8 unit berkontribusi 55 mw, seperti di Telomoyo sekitar 40 MW dari Candi Umbul sekitar 40 MW maka dapat berkontribusi hingga 500 MW. Jumlah ini bisa memenuhi kebutuhan sekitar 200 ribu lebih rumah.
“Misal satu rumah pasang daya 2000 watt dengan 500 MW ya setidaknya potensinya bisa melayani 250 ribu rumah,” katanya.
Hengky mengatakan pihaknya masih menggunakan teknologi konvensional untuk memanfaatkan energi panas bumi ini. Walaupun ada teknologi lanjutan dan hybrid juga tapi di Dieng masih cocok dengan kondens atau biasa. Melihat tidak mudahnya mengambil energi panas bumi ini ia berpesan agar masyarakat dapat bijak menggunakan listrik.
“Ternyata sangat kompleks sampai kemudian di rumah dan di jalan dapat pemanfaatan dari listrik. Mari kita bisa bijak menggunakan energi listrik agar tidak tersia-siakan dan lingkungan bisa terjaga,” katanya.
Comments