PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) wilayah DIY membantah adanya kerugian yang dialami pelanggan listrik prabayar atau dengan sistem token yang ramai diperbincangkan di berbagai media. PLN DIY mengklaim, hal itu merupakan kesalahan persepsi saja.
Kepala Bagian Humas PLN Jogja Kardiman Paulus menjelaskan, tidak ada persoalan terkait dengan sistem pembayaran listrik prabayar. Menurutnya, sistem tersebut berjalan sesuai aturan yang diterapkan. Hanya saja, kegaduhan masalah tersebut muncul akibat adanya kesalahan persepsi ketika nilai rupiah dikonversikan kedalam bentuk kilo watt hour (kWh).
Menurutnya, komponen pembeliaan token listrik terdapat empat item. Mulai biaya administrasi bank yang disesuaikan dengan up line bank yang melayani Payment Point Online Bank (PPOB). Selain itu, terdapat biaya Pajak Penerangan Jalan (PPJ) yang mengacu pada masing-masing Peraturan Daerah Kabupaten setempat.
Ada pula biaya meterai dan PPN sesuai ketentuan yang berlaku dan nilai rupiah biaya pemakaian (Rp/kWh) yang disesuaikan dengan tarif atau daya pelanggan. “PLN sudah tidak lagi menangani pembayaran listrik karena semua dilakukan oleh perbankan. Ini semua demi efisiensi yang PLN lakukan. Jadi, biaya administrasi dilakukan oleh pihak bank, bukan PLN,” jelas Kardiman.
Selain biaya administrasi perbankan, terdapat juga biaya PPJ yang memang disesusikan dengan Perda setempat. Biaya PPJ ini, tegas Kardiman, juga tidak masuk ke kas PLN tetapi masuk ke kas masing-masing daerah.
“Setiap bulan itu dilakukan pengalihan pembayaran ke masing-masing kas daerah. Ketentuan masing-masing PPJ berbeda di tiap-tiap daerah,” terang dia.
Menurutnya, kesalahan persepsi itu muncul manakala nominal rupiah pembelian pulsa listrik itu dikonversikan kedalam kWh. Misalnya, pembelian token sebesar Rp100.000 akan dipotong biaya administrasi bank sebesar Rp1.600 dengan sisa rupiah transaksi ke PLN sebesar Rp98,400. Angka tersebut kemudian dipotong PPJ di DIY sebesar 2,4 % atau Rp2.306 sehingga nilai rupiah yang dikonversi menjadi Kwh sebesar Rp96.094.
“Sementara, tarif listrik untuk golongan R1 atau 1300 voltage (VA) sebesar Rp1.352 per kWh. Denagn jumlah tersebut maka besaran listrik yang diperoleh pelanggan sebesar kWh 71.08. Besaran kWh inilah yang diinput ke meteran melalui token 20 digit,” terang Kardiman.
Dengan demikian, lanjut dia, besaran yang ditambahkan pada meteran adalah kWh dan bukan nilai rupiahnya. Dia memperkirakan, masyarakat keliru memahami bahwa yang tercantum dalam struk adalah “Rupiah”.
“Padahal, pengertiaan yang benar adalah listrik yang diperoleh pada struk adalah kWh, bukan rupiah. Munculkan miss persepsi angka 70 yang diperoleh dikira ekivalen dengan Rp70.000,” tandasnya.
Pengguna listrik dengan pembayaran sistem pulsa atau token rupanya belum menarik masyarakat. Terbukti, sejak diperkenalkan 2009 lalu hingga 2015 ini jumlah pelanggannya mencapai 247.952 pelanggan. Jumlah tersebut hanya sekitar 21% dari total jumlah pelanggan PLN di DIY yang mencapai lebih dari satu juta pelanggan.
“Untuk saat ini, pelanggan yang sudah menggunakan sistem token ini tidak bisa beralih ke meteran. Sebab, tidak ada aturan yang memperbolehkan hal itu. Sistem ini memiliki banyak kelebihan dibandingkan meteran, tinggal budaya pemakaian pelanggan saja,” ujarnya.
Ditemui Harian Jogja, sejumlah pelanggan dengan sistem pembayaran prabayar mengakui jika nominal yang dikeluarkan untuk penggunaan listrik cukup besar. Wardoyo misalnya, warga Kasihan Bantul itu mengakui, jika dalam waktu dua minggu dia harus mengisi pulsa listrik sebesar Rp50.000.
“Dapatnya sekitar 48 kWh. Jadi, dalam sebulan bisa beli dua kali pulsa Rp50.000. Lebih boros karena meski sama-sama 900 VA, tetangga saya sebulan hanya membayar sekitar Rp73.000,” katanya.
Comments