StarJogja.com, JOGJA – Longsornya tebing di sungai Code Kota Jogja sampai saat ini masih belum diperbaiki. Ada beberapa alasan yang mengakibatkan lambannya pembangunan kembali tebing yang longsor. Diantaranya adalah lahan tersebut sebenarnya bukan merupakan tempat permukiman. Dahulu tempat tersebut merupakan pemakaman cina, Menurut Lurah Terban, Anif Luhur Kurniawan ada sekitar 30 rumah yang ada di RT 02 Terban. Mereka semuanya menempati lahan wedi kengser.
Delapan rumah yang disewakan pada tahun 80an lalu memang dikelola LPMK. Namun karena usaha tidak jalan, kebetulan ada warga yang membutuhkan tempat tinggal, kemudian diijinkan meninggali lahan tersebut dengan membayar sewa. Yang membangun rumah semi permanen adalah warga yang meninggali.
Anif mengatakan warga sudah menyadari mereka tinggal di lahan yang berpotensi terjadi bencana seperti luapan air Code dan longsor. Namun pihaknya tidak bisa berbuat banyak karena mereka sudah tinggal turun temurun.
Tidak hanya rumah warga yang berpotensi terkena bencana, namun bangunan diatas tebing pun rawan. Ada lima ruko yang terancam. Dinas Perizinan dan Penanaman Modal Kota Jogja memastikan IMB ruko itu batal demi hukum karena ada tambahan bangunan dibelakang ruko.
Longsor tebing Terban ini bukan pertama kalinya, pada Maret tahun lalu tebing tersebut juga longsor. Penanganan yang dilakukan Pemerintah Kota Jogja hanya menutup terpal. Pemerintah Kota Jogja melalui Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Kawasan Permukiman (PUPKP) Kota Jogja sudah mengajukan perbaikan talud bersama talud lainnya di sepanjang bantaran Kali Code dan Kali Winongo kepada Balai Besar Wilayang Sungai Serayu Opak (BBWSO) Kementrian Pekerjaan Umum. Belakangan respon dari BBWSO hanya akan membangun talud alami dengan menanam pohon dan rumput. BBWSO tidak berani membangun talud permanen karena banyak bangunan yang melanggar sempadan sungai.
Alasan BBWSO ini mendasarkan pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 63/PRT/1993 tentang Garis Sempadan Sungai dan Daerah Manfaat Sungai. Dalam aturan tersebut ditegaskan larangan membangun di garis sempadan sungai. Ada Pasal 6 disebutkan garis sempadan sungai yang bertanggul di kawasan perkotaan ditetapkan tiga meter, sementara diluar perkotaan lima meter.
Ketua Asosiasi Komunitas Sungai Kota Jogja, Endang Rohjiani mendukung langkah BBWSO yang tidak akan memperbaiki talut selama masih ada bangunan di sekitar longsor. Menurut dia semestinya hal itu menjadi momentum penting penegakan hukum soal aturan sempada sungai. “Jangan atas nama kemanusiaan terus menabrak aturan yang itu juga akan lebih tidak manusiawi,” kata Endang.
Endang juga mengkritisi Pemerintah Kota Jogja saat merespon adanya luapan air ke dalam rumah di bantaran sungai langsung ditanggapi dengan membangun talud. Padahal pembangunan talud itu menurutnya, belum tentu sesuai dengan karakter sungai. | Ujang Hasanudin/JIBI/Harian Jogja |
Comments